Rafiin, warga Desa Montong, Batu Layar, Lombok Tengah menuntun sapinya ke lapangan tak jauh dari desa. Sapi itu, dan puluhan sapi milik tetangga Rafiin, turut mengungsi mulai Kamis (9/8) malam. “Saya cuma punya satu sapi, ini disuruh mengungsi, ya saya bawa saja. Yang lain juga begitu biar aman, ini tabungan untuk saya,” kata Rafiin yang bekerja sebagai nelayan.
Warga kota Mataram masih mengalami trauma atas gempa yang terus terjadi. Secara mandiri, mereka membangun tenda di lapangan dan memenuhi kebutuhan makanan. Di kompleks perumahan, warga sepakat menutup jalan utama dan menjadikannya lokasi mereka mendirikan tenda. Di halaman beberapa hotel tenda kecil juga disediakan bagi tamu yang tidak berani tidur di kamar.
Sapi terpaksa dibawa karena mereka ingin tenang selama berada di pengungsian. Tidur di dalam tenda darurat tentu tidak nyaman, memikirkan sapi di rumah sebagai harta tabungan akan semakin membuat mereka sulit tidur nyenyak. Karena itu, membawa sapi ke lapangan tempat mengungsi adalah jalan keluar yang logis.
Hal itu disampaikan koordinator pengungsi di Montong, Herman, yang juga aktif di organisasi Lombok Care Center. Lembaga ini mencari dan mendistribusikan bantuan untuk pengungsi. Herman sendiri memimpin tujuh titik pengungsian dengan ratusan orang di dalamnya.
“Kalau ini memang nyaman untuk mereka, karena harta yang bisa diselamatkan hanya ini, ya tentu saja membawa sapi ini efektif. Kalau ditaruh di rumah jauh dari pengungsian, jadi pikiran. Jadi saya katakan, boleh bawa sapi tetapi jangan terlalu dekat tenda,” kata Herman.
Sejak gempa terjadi Minggu malam, isu pencurian memang terdengar di berbagai titik. Kepada VOA, beberapa warga Lombok Utara menceritakan bahwa selain sapi, yang juga dicuri adalah meteran listrik, sepeda motor dan mesin perahu.
Salah satu pusat pengungsian di tengah kota Mataram adalah Lapangan Udara Rembiga, Jalan Adisucipto. Sejak Kamis siang, warga sudah mendirikan tenda dan pada sore hari jumlahnya mencapai seribuan. Mahasiswa dari Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram menggelar kegiatan penyembuhan trauma bagi anak-anak di tengah lapangan. Mereka bernyanyi dan menari bersama.
Karunia, mahasiswi yang ikut menyelenggarakan kegiatan itu kepada VOA mengatakan, anak-anak sangat menikmati kegiatan itu. Ketegangan akibat gempa 6,2 skala Richter yang terjadi pada tengah hari, sedikit dapat dikurangi.
“Soalnya mereka masih dalam keadaan trauma, jadi kita adakan trauma healing di sini, kita ajak mereka bermain agar trauma itu hilang. Setelah kita ajak bermain, seperti tidak ada trauma di wajah mereka. Semua senang dan bahkan tidak mau berhenti bermain,” tutur Karunia.
Salah satu persoalan yang dihadapi pengungsi di kota Mataram adalah sarana Mandi, Cuci dan Kakus. Meski mereka bisa pulang sebentar untuk memenuhi kebutuhan itu, tetapi banyak yang trauma dan memilih mencari lokasi di dekat pengungsian, seperti masjid, kantor pemerintah atau markas militer.
Menurut Rizki Widiyanto, relawan dari Pramuka Kwartir Cabang Jakarta Timur, logistik pada Kamis siang sudah sulit dicari di Mataram. Gempa susulan membuat banyak toko tutup, sehiggga kelompok-kelompok relawan kesulitan mencari bahan makanan bagi pengungsi. Menurut Rizki, perlu dipikirkan pengiriman dalam skala besar dari luar Lombok. Selain itu, pengiriman ke daerah terpencil harus dipriotitaskan.
“Distribusinya harus didukung TNI, lebih masuk ke pelosok agar bisa sampai ke korban yang ada di pedalaman. Lebih baik ada bantuan dari pihak berwenang. Kita yang mengirim, tetapi ada pengawalan dari aparat,” tukas Rizki.
Jumlah korban meninggal akibat gempa di Lombok masih simpang siur sampai Kamis malam. BNPB menyebut angka 131, TNI meyakini jumlahnya 381, sedangkan BPBD dan Pemda Lombok Utara merilis angka 347 korban. Sedangkan Gubernur NTB dan Basarnas sepakat pada angka 226 orang. [ns/uh]