Deretan enam poster berukuran dua meter persegi bergambar presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo terpasang di sisi jembatan penyeberangan kawasan Pasar tradisional Solo, Pasar Gedhe.
Poster-poster tersebut memperlihatkan Jokowi dengan pasangannya masih menjabat walikota Solo saat itu, FX Hadi Rudyatmo, kemudian ada juga Jokowi dengan Jusuf Kalla saat maju dalam pemilihan presiden lalu. Tampak pula gambar Jokowi sedang diajak foto selfie seorang warga.
Pengusaha Haristanto, yang ada di belakang pemasangan poster-poster tersebut, mengatakan poster bergambar Jokowi ini sebagai bentuk perayaan warga menjelang pelantikan Jokowi sebagai Presiden, Senin (20/10).
Haristanto dengan berbagai aksi kreatifnya telah mendukung dan mengkritik Jokowi sejak menjadi Walikota Solo hingga Presiden.
“Saya ingin memberikan kado indah untuk Pak Jokowi yang akan dilantik sebagai Presiden, Senin besok. Ini bentuk euforia warga, suka cita warga, merayakan Jokowi menjadi Presiden. Saya tidak pernah membayangkan seorang tukang kayu, warga biasa, menjadi Presiden. Ini sebuah kegembiraan warga Solo,” ujarnya.
“Aksi tidak hanya sampai di sini, nanti masih ada rangkaiannya, Minggu, Senin, Selasa. Saatnya kita bergembira. Jokowi jadi ikon kota Solo, sudah sepantasnya kami ikut merayakan dengan berbagai ragam kreativitas. Aksi kami ini membentangkan foto-foto jumbo kenangan Pak Jokowi dengan karakter yang humanis.”
Saat menjabat walikota, Jokowi menghadapi berbagai aksi perlawanan dalam menjalankan programnya, seperti saat relokasi Pedagang Kaki Lima atau PKL, relokasi warga bantaran Sungai Bengawan Solo, hingga gugatan warga ke pengadilan karena Jokowi mengundurkan diri dari jabatan walikota dan maju menjadi calon gubernur Jakarta.
Salah seorang pedagang kaki lima yang menempati Pasar Barang bekas Notoharjo Semanggi Solo, Ferri Setiawan mengenang pernah menolak program Jokowi saat menjabat Walikota Solo. Berkelahi dengan satpol PP yang menertibkan lapak dagangannya menjadi kenangan Ferri yang menolak relokasi PKL dari Banjarsari Solo ke Pasar Barang bekas Notoharjo yang berjarak sekitar 7 kilometer.
Namun kini, Ferri merasa omzetnya melejit dibanding saat berjualan di jalanan. Ferri mengaku bangga Jokowi menjadi Presiden.
“Dulunya pas mau direlokasi ke sini saya menolak, menentang Pak Jokowi. Setiap hari saya berkelahi dengan satpol PP. Kita akhirnya mau, karena kita merasa diuwongke atau dimanusiakan oleh Pak jokowi. Artinya kita diundang ke Loji Gandrung, rumah dinas walikota Solo. Kita diajak dialog, diajak makan bareng. Itu setiap hari. Masukan kita para PKL juga diperhatikan dan diwujudkan Pak Jokowi,” ujarnya.
“Kita relokasi di sini, sama Pak Jokowi disediakan bangunan dan kiosnya, gratis, tanpa bayar, bahkan awal tahun pertama kita tidak bayar retribusi. Akses jalan dan fasilitas umum disediakan, jalur transportasi hingga promosi pasar ini di media elektronik hingga cetak terus dilakukan Pak Jokowi saat itu. Kita juga diberi dana bantuan untuk modal UMKM.”
Saat ini, ujarnya, omzet kami di pasar ini bisa sampai 8-10 kali lipat dibandingkan saat berjualan jadi PKL di jalanan dan kadang harus bentrok atau kucing-kucingan
dengan satpol PP.
“Kami bangga sekali Pak Jokowi jadi presiden dari Solo. Warga Solo sangat berterima kasih pada Pak Jokowi,” ujar Ferri.
Tak hanya Ferri saja yang dulu pernah melawan program Jokowi saat menjabat Walikota Solo. Ungkapan senada juga dilontarkan Sugihanto, yang dulu menjadi PKL Monumen Banjarsari dan kini pedagang di Pasar Notoharjo Solo. Menurut Sugihanto, dia pernah menentang program Jokowi merelokasi PKL.
“Kesabaran Pak Jokowi, akhirnya kami mau direlokasi ke pasar ini. Sifatnya kebapakn, jadi teman-teman PKl terbuka hatinya dan menyadari, mau relokasi ke sini. Jualan di jalanan ini menggangu ketertiban umum, menyalahi aturan. Jadi revolusi mental itu sudah sejak awal dilakukan Pak Jokowi saat masih di Solo,” ujarnya.