SURABAYA, JAWA TIMUR —
Idul Adha menjadi hari raya yang dianggap paling penting oleh warga Madura selain Idul Fitri, karena saat itu mereka yang berada di luar Madura atau yang sedang merantau akan pulang kembali ke kampung halamnnya. Hal ini tidak dapat dirasakan warga pengungsi Syiah Sampang, yang mengungsi di rumah susun Puspa Argo di Sidoarjo pasca konflik 2012 lalu.
Mohammad Zaini, warga pengungsi Syiah Sampang mengatakan, hari raya Idul Adha kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, karena warga tidak dapat lagi pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat dekat. Mereka menjalankan Sholad Ied dan menyembelih hewan kurban di pengungsian, bersama warga lain yang juga tidak dapat pulang kampung.
“Ya memang berbeda. Yang pertama masalah tempat, dimana kan kalau Madura itu merayakan apalagi yang kerja di luar itu kalau hari raya pas pulang, rame-rame tetap pengalamannya, karena mereka menganggap kita harus merayakan hari raya itu di tempat kelahiran kita sendiri, atau kita kembali ke kampung halaman kita sendiri. 'Toron' kata orang Madura itu,” kata Mohammad Zaini, warga Pengungsi Syiah Sampang.
Pemimpin Syiah Sampang, Iklil Almilal menegaskan, belum jelasnya waktu pemulangan pengungsi Syiah dari rumah susun Puspa Argo Sidoarjo kembali ke Omben dan Karangpenang, Kabupaten Sampang, menyebabkan warga Syiah Sampang tidak dapat merayakan hari raya Idul Adha sama seperti saat berada di kampung halaman.
“Jelas beda ya, karena kami itu disini seolah-olah itu tidak merasakan hari Lebaran (Hari Raya Idul Adha) yang sesungguhnya karena kami cuma, ya tidak bisa kunjung ke sanak keluarga, seperti itu,” kata Iklil Almilal, pemimpin Syiah Sampang.
Mohammad Zaini mengungkapkan tradisi perayaan hari raya Idul Adha atau Kurban, merupakan kebiasaan yang saling mendekatkan setiap keluarga maupun tetangga. Keluarga satu dengan yang lain saling berbagi masakan untuk dimakan bersama, sebagai bentuk silahturahmi antar umat Islam di Madura.
“Kalau di sana (Madura), tradisi itu setiap orang yang ingin pergi ke tetangganya atau orang yang ingin pergi ke rumah orang tuanya itu bawa oleh-oleh seperti itu, masakan yang dimasak sendiri, olahan kambing, daging, gitu,” kata Mohammad Zaini, warga pengungsi Syiah Sampang
Iklil Almilal menegaskan keinginan warga di pengungsian yang ingin segera pulang ke kampung halaman mereka, dengan difasilitasi pemerintah, tokoh masyarakat dan ulama, tanpa syarat yang memaksa warga berpindah keyakinan.
“Kami tetap berharap pemerintah itu benar-benar (merasakan) bagaimana masalah nasib kami ini. Keinginan kami ya tetap pulang kampung, seperti itu. Karena keinginan kami itu bukan cuma kami bisa pulang, tapi, bukan cuma masyarakat tapi semua menerima keberadaan, kepulangan kami. Jadi pemerintah juga terlibat, para tokoh masyarakat, para kyai, dengan kepulangan kami itu bersama-sama (menerima),” lanjut Iklil Almilal.
Mohammad Zaini, warga pengungsi Syiah Sampang mengatakan, hari raya Idul Adha kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, karena warga tidak dapat lagi pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat dekat. Mereka menjalankan Sholad Ied dan menyembelih hewan kurban di pengungsian, bersama warga lain yang juga tidak dapat pulang kampung.
“Ya memang berbeda. Yang pertama masalah tempat, dimana kan kalau Madura itu merayakan apalagi yang kerja di luar itu kalau hari raya pas pulang, rame-rame tetap pengalamannya, karena mereka menganggap kita harus merayakan hari raya itu di tempat kelahiran kita sendiri, atau kita kembali ke kampung halaman kita sendiri. 'Toron' kata orang Madura itu,” kata Mohammad Zaini, warga Pengungsi Syiah Sampang.
Pemimpin Syiah Sampang, Iklil Almilal menegaskan, belum jelasnya waktu pemulangan pengungsi Syiah dari rumah susun Puspa Argo Sidoarjo kembali ke Omben dan Karangpenang, Kabupaten Sampang, menyebabkan warga Syiah Sampang tidak dapat merayakan hari raya Idul Adha sama seperti saat berada di kampung halaman.
“Jelas beda ya, karena kami itu disini seolah-olah itu tidak merasakan hari Lebaran (Hari Raya Idul Adha) yang sesungguhnya karena kami cuma, ya tidak bisa kunjung ke sanak keluarga, seperti itu,” kata Iklil Almilal, pemimpin Syiah Sampang.
Mohammad Zaini mengungkapkan tradisi perayaan hari raya Idul Adha atau Kurban, merupakan kebiasaan yang saling mendekatkan setiap keluarga maupun tetangga. Keluarga satu dengan yang lain saling berbagi masakan untuk dimakan bersama, sebagai bentuk silahturahmi antar umat Islam di Madura.
“Kalau di sana (Madura), tradisi itu setiap orang yang ingin pergi ke tetangganya atau orang yang ingin pergi ke rumah orang tuanya itu bawa oleh-oleh seperti itu, masakan yang dimasak sendiri, olahan kambing, daging, gitu,” kata Mohammad Zaini, warga pengungsi Syiah Sampang
Iklil Almilal menegaskan keinginan warga di pengungsian yang ingin segera pulang ke kampung halaman mereka, dengan difasilitasi pemerintah, tokoh masyarakat dan ulama, tanpa syarat yang memaksa warga berpindah keyakinan.
“Kami tetap berharap pemerintah itu benar-benar (merasakan) bagaimana masalah nasib kami ini. Keinginan kami ya tetap pulang kampung, seperti itu. Karena keinginan kami itu bukan cuma kami bisa pulang, tapi, bukan cuma masyarakat tapi semua menerima keberadaan, kepulangan kami. Jadi pemerintah juga terlibat, para tokoh masyarakat, para kyai, dengan kepulangan kami itu bersama-sama (menerima),” lanjut Iklil Almilal.