Aktivis Khawatir Revisi KUHP akan Perkuat Kriminalisasi Aborsi

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mendesak pembebasan WA, anak perempuan di Jambi, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (5/8/2018) siang. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Para aktivis menyambut baik pembebasan seorang gadis berusia 15 tahun dari hukuman penjara di Jambi dengan “alasan kemanusiaan.” Penahanan dirinya bermula dari perbuatan aborsi akibat perkosaan abangnya sendiri. Namun para aktivis khawatir usulan perubahan KUHP akan memperkuat kriminalisasi terhadap aborsi, penargetan kelompok seksual minoritas dan bahkan larangan menyebarluaskan informasi tentang kontrasepsi.

Korban – yang diidentifikasi oleh otorita berwenang dengan inisial WA – awalnya dijatuhi vonis enam bulan penjara oleh pengadilan distrik Muara Bulian, di propinsi Jambi, karena aborsi kandungan yang sudah berumur enam bulan. Ibunya juga menghadapi tuntutan karena diduga membantu proses aborsi putrinya itu.

WA didakwa melanggar UU Perlindungan Anak setelah warga setempat menemukan janin yang digugurkannya di sebuah perkebunan kelapa sawit. Abangnya yang berusia 18 tahun divonis dua tahun penjara dengan pasal serangan seksual terhadap anak di bawah umur setelah ia terbukti memperkosa adik kandungnya sebanyak sembilan kali dan mengancam akan melukainya jika ia melawan.

Kasus ini mendapat sorotan luas media dan menjadi skandal bagi banyak pihak di negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia ini, memicu seruan kelompok-kelompok HAM untuk melegalisasi aborsi dan memberi jaminan bagi hak-hak perempuan.

Setelah kelompok-kelompok bantuan hukum dan organisasi perempuan melancarkan kampanye terkoordinasi bagi pembebasan WA – termasuk membuat petisi di Change.Org yang ditandatangani oleh lebih dari 15.000 orang – pengadilan mengambil keputusan yang jarang dibuat, yakni menangguhkan vonis bagi WA.

Koalisi 12 LSM yang menamakan dirinya ‘’Aliansi Keadilan Bagi Korban Perkosaan’’ dalam pernyataannya mengatakan ‘’ada pelanggaran serius’’ dalam kasus ini, termasuk ‘’indikasi penyiksaan’’ dalam proses interogasi oleh tim penyidik.

‘’Ini karena kultur dalam budaya kita,’’ ujar Naila Rizqi Zakiah yang mengepalai LBH Masyarakat.

"Kita masih menyalahkan korban. Bahkan badan-badan penegak hukum masih memiliki pandangan bahwa korban perkosaan sebenarnya ikut berkontribusi terhadap apa yang terjadi pada korban dan ketika korban menggugurkan kandungannya, maka ini dinilai sebagai kesalahannya.”

Para hakim ketua dilaporkan telah dirujuk ke Komisi Yudisial karena dugaan pelanggaran etik.

Indonesia telah meratifikasi sebagian besar dokumen HAM internasional terkait hak-hak perempuan dan anak, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW, tetapi aborsi masih menjadi stigma dan dilarang oleh undang-undang kecuali dalam kondisi khusus.

Amnesti Internasional Indonesia dalam pernyataan tertulis tentang kasus WA ini mengatakan “berdasarkan aturan HAM internasional, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk memastikan bahwa korban perkosaan atau inses dapat memiliki akses tidak terbatas untuk melakukan aborsi yang aman dan legal.”

Revisi UU Kesehatan Reproduksi Tahun 2009 yang dilakukan pada tahun 2014 mengijinkan aborsi ketika usia kandungan berumur di bawah 40 hari, JIKA nyawa perempuan berada dalam bahaya atau jika kehamilan terjadi karena perkosaan. Hal ini sejalan dengan keyakinan dalam aliran Islam Sunni yang dianut warga Indonesia pada umumnya.

Menurut Adriana Venny Aryani, Komisioner Komnas Perempuan, banyak anak dan remaja perempuan Indonesia yang tidak cukup terdidik tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi; dan karenanya jarang mengetahui bahwa mereka hamil dalam masa 40 hari pertama kandungan.

“WA masih anak-anak. Ia tidak tahu bahwa ia hamil, jadi hakim dan tim jaksa harus memahami posisinya,” ujar Venny.

“Mereka terlalu normatif, ini sanksi, saya harus menghukum Anda karena ini wilayah pengadilan pidana, tetapi mereka tidak menyadari bahwa ia adalah korban. Ia masih anak-anak,” tambahnya.

Amnesti Internasional mengatakan “kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang hukum diantara perempuan dan anak perempuan, ditambah adanya stigma tentang aborsi dan hambatan lain yang dihadapi dalam mengakses layanan hukum, membuat perempuan dan anak perempuan lebih mungkin melakukan aborsi yang dilakukan secara tersembunyi, aborsi yang tidak aman atau mengakhiri kehamilannya sendiri dengan cara-cara yang tidak aman meskipun secara hukum berhak melakukan aborsi.”

DPR sedang mempertimbangkan untuk mengubah KUHPidana yang ada, yang merupakan warisan penguasa kolonial Belanda; dan berarti hal ini akan melarang seluruh bentuk hubungan seksual suka sama suka yang dilakukan di luar pernikahan. Para aktivis khawatir aturan hukum ini akan digunakan untuk menarget kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Pasal 481 KUHPidana akan membatasi penyebarluasan informasi dan pasokan kontrasepsi pada ahli kesehatan yang dirujuk pemerintah, dan mereka yang melanggar akan menghadapi ancaman denda 10 juta rupiah.

Kelompok-kelompok konservatif Islam menilai perubahan itu penting untuk mencerminkan kebudayan lokal dalam aturan hukum secara lebih baik.

Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Saadi awal tahun ini mengatakan reformasi KUHPidana “sejalan dengan nilai-nilai budaya, norma agama dan semangat Pancasila, dan melindungi dari “bahaya LGBT dan seks bebas,” sebagaimana dikutip oleh kantor berita ANTARA.

Tetapi menurut Maidina Rahmawati, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform, perubahan itu juga akan membebaskan dokter dari penuntutan karena membantu aborsi ilegal. Meskipun perempuan yang menyudahi kehamilannya masih dinilai bertanggungjawab menghadapi hukuman pidana. [em/jm]