Aktivis Khawatirkan Keberadaan Perempuan di Bawah Kendali Taliban

  • Associated Press

Seorang anggota Taliban menyaksikan perempuan Afghanistan selama demonstrasi menuntut hak yang lebih baik bagi perempuan di depan bekas Kementerian Urusan Perempuan di Kabul pada 19 September 2021. (Foto: AFP/Blent Kilic)

Penarikan cepat pasukan AS dari Afghanistan dinilai sebagai langkah yang "tidak bertanggung jawab" oleh sejumlah kalangan. Para aktivis dan organisasi hak-hak perempuan memperingatkan dampak kebangkitan Taliban terhadap kemajuan kaum perempuan yang belum mendapatkan ‘pijakan stabil.'

Organisasi hak-hak perempuan memperingatkan dampak terhadap kehidupan dan kebebasan perempuan setelah Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan.

"Kami sangat khawatir akan terjadi sesuatu terkait keberadaan kaum perempuan. Mereka akan dibunuh atau dipaksa menikah, dianiaya, menderita kekerasan," ujar Gesa Birkmann dari organisasi hak-hak perempuan "Terre des Femmes" kepada kantor berita Associated Press, Senin (16/8).

Birkmann mengungkapkan harapannya bahwa operasi evakuasi orang-orang dari Kabul dapat "diatur dengan stabil" untuk membawa keluar "sejumlah aktivis hak-hak perempuan dari negara itu."

Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berbicara dalam konferensi pers di Kabul, Afghanistan, 7 September 2021. (Foto: VOA)

Pada konferensi pers di Kabul pada Selasa (17/8) juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid menyampaikan masalah hak-hak perempuan "sangat penting" dan mereka "berkomitmen atas hak-hak perempuan dalam kerangka Syariah".

Mujahid menjelaskan Taliban ingin meyakinkan dunia "bahwa tidak akan ada diskriminasi terhadap kaum perempuan, tapi tentu saja dalam kerangka yang kita miliki."

Namun, Birkmann menggambarkan situasi kaum perempuan di Afghanistan sebagai "mengancam jiwa", dan mengungkapkan bahwa akses ke pendidikan sudah ditolak.

BACA JUGA: Sejumlah Perempuan Afghanistan Laporkan Pelecehan Taliban

"Di Herat semua sekolah perempuan telah ditutup. Semua toko juga ditutup. Kebanyakan perempuan tidak lagi bekerja karena merasa takut pada Taliban. Kami juga mendengar kasus dari organisasi lain bahwa perempuan tidak lagi boleh meninggalkan rumah tanpa didampingi muhrim. Jadi mereka benar-benar terputus (dari dunia luar)," kata Gesa Birkmann.

Banyak perempuan di negara Asia Selatan itu merasa khawatir bahwa eksperimen Barat dalam dua dekade ini untuk memperluas hak-hak perempuan dan membangun kembali Afghanistan, tidak akan bertahan dengan bangkitnya Taliban.

Setelah banyak kota di Afghanistan jatuh ke tangan mereka tanpa ada perlawanan, Taliban berupaya menggambarkan diri mereka sebagai lebih moderat dibandingkan ketika mereka memberlakukan aturan yang brutal pada akhir 1990-an. Akan tetapi banyak warga Afghanistan tetap merasa skeptis.

Perempuan Afghanistan menuntut hak mereka di bawah kekuasaan Taliban saat demonstrasi di dekat bekas gedung Kementerian Urusan Perempuan di Kabul, Afghanistan, Minggu, 19 September 2021. (Foto: AP)

Generasi Afghanistan yang lebih tua masih ingat akan pandangan Taliban yang ultrakonservatif terhadap Islam. Sewaktu berkuasa, Taliban sangat membatasi kaum perempuan. Mereka juga memberlakukan rajam dan amputasi di depan umum sebelum kekuasaan mereka digulingkan oleh invasi pimpinan AS setelah serangan teror 11 September 2001.

Birkmann mengkritik penarikan cepat pasukan AS dari Afghanistan sebagai langkah yang "tidak bertanggung jawab." Ia menambahkan kemajuan hak-hak perempuan di negara itu "belum mendapatkan pijakan yang stabil".

“Situasinya berjalan sedemikian cepat, tentu saja tidak ada yang memperkirakan itu terjadi. Namun dapat diprediksi bahwa situasinya akan menjadi jauh lebih buruk bagi masyarakat, bagi penduduk sipil, terutama anak perempuan dan kaum perempuan di Afghanistan," kata Gesa Birkmann​. [mg/ka]