Aktivis Buruh Tuding Pemerintah Gagal Lindungi TKI

  • Wella Sherlita

Para aktivis buruh melakukan protes atas penyiksaan dan pembunuhan PRT Indonesia, di depan gedung Kedutaan Arab Saudi di Jakarta (foto: dok.).

Hanya beberapa hari setelah memberikan pidato pada forum Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, Swiss, Presiden Yudhoyono dikritik tajam oleh aktivis buruh migran, menyusul eksekusi pancung terhadap Ruyati binti Satubi, oleh pemerintah Arab Saudi pada Sabtu sore.

Organisasi buruh 'Migrant Care' menyatakan duka cita yang mendalam atas peristiwa eksekusi mati untuk Ruyati binti Satubi. Mereka menyebutkan bahwa eksekusi mati tersebut adalah bentuk keteledoran diplomasi perlindungan Pembantu Rumah Tangga migran asal Indonesia.

Analis kebijakan dari Migrant Care, Wahyu Susilo, kepada VOA, Minggu sore menyayangkan kasus ini tidak pernah diketahui publik –termasuk keluarga Ruyati sendiri.

Ia mengatakan, "Eksekusi itu dilaksanakan tanpa kita tahu proses peradilannya, bahkan pihak keluarga baru diberitahu oleh pihak Kementerian Luar Negeri tadi pagi, itupun melalui SMS dan telepon.”

Ruyati binti Satubi dijatuhi vonis hukuman mati oleh pengadilan Arab Saudi, Sabtu, atas kasus pembunuhan terhadap majikannya. Keterangan dari Konsulat Indonesia di Jeddah menyebutkan bahwa Ruyati mengakui perbuatannya itu kepada hakim di pengadilan. Namun, berdasarkan keterangannya kepada keluarga, tindakan itu terpaksa dilakukan karena tidak tahan menerima perlakuan buruk dari majikannya, kata Wahyu.

”Awal tahun 2010, Ruyati pernah dirawat di rumah sakit karena kedua kakinya remuk. Jadi ini pembunuhan yang terjadi karena pembelaan diri, bukan terencana. Seharusnya KBRI (Ryadh) juga melakukan upaya hukum agar Ruyati mendapatkan keringanan (hukuman) dan secara politik pemerintah Indonesia di Jakarta melakukan diplomasi politik, tetapi hal itu tidak dilakukan,” papar Wahyu lebih lanjut.

Berdasarkan catatan Migrant Care, saat ini masih ada sekitar 23 warga negara Indonesia (mayoritas PRT migran) yang menghadapi ancaman hukuman mati di Arab Saudi. Kasus terakhir yang muncul ke permukaan adalah ancaman hukuman mati terhadap Darsem.

Dalam kasus ini, kata Wahyu, pemerintah Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pembayaran diyat (uang darah) ketimbang melakukan advokasi litigasi di peradilan, maupun diplomasi secara maksimal. Senin pagi, Migrant Care berencana untuk mendampingi keluarga Ruyati untuk menemui Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa.

Sementara itu, jurubicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kepada VOA, mengaku sejak awal perwakilan Indonesia di Jeddah dan Ryadh mengikuti kasus ini, termasuk berbicara dengan pihak keluarga korban.

Tene mengatakan, ”Sejak kasus ini muncul awal 2010, Kementerian Luar Negeri terus mengawal dan mengupayakan pengampunan. Namun, dari pihak keluarga majikan tidak mau memberikan pengampunan. Ini kasusnya memang serius.”

Peradilan Arab Saudi juga dinilai sudah melanggar hukum kekonsuleran, di mana penjatuhan dan pelaksanaan vonis hukuman pancung bagi Warga Negara Indonesia dilakukan tanpa memberitahukan pihak Konsulat Jenderal Indonesia di Jeddah ataupun KBRI Ryadh.

Lebih lanjut Tene mengatakan, "Tanpa mengabaikan sistim hukum yang berlaku di Arab Saudi, Pemerintah Indonesia mengecam bahwa pelaksanaan hukuman tersebut dilakukan tanpa memperhatikan praktek internasional yang berlaku yang berkaitan dengan perlindungan kekonsuleran.”

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah RI akan segera menyampaikan sikap Pemerintah kepada Duta Besar Arab Saudi di Jakarta, serta memanggil Duta Besar Indonesia di Riyadh untuk konsultasi mengenai hal-hal ini.