Departemen Luar Negeri Amerika memerintahkan seluruh diplomat yang tidak memiliki tugas esensial untuk meninggalkan Myanmar, demikian petikan pernyataan pada hari Selasa (30/3). Perintah ini disampaikan di tengah penumpasan demonstran yang telah menewaskan ratusan orang sejak kudeta militer 1 Februari lalu.
Demonstrasi damai yang terjadi setiap hari di seluruh Myanmar menuntut pemulihan pemerintah terpilih dan pembebasan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi telah dihadapi aparat dengan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam.
“Militer Myanmar telah menahan dan menggulingkan para pejabat pemerintah terpilih,” kata departemen itu dalam pernyataan tertulis yang memerintahkan evakuasi. “Protes dan demonstrasi menentang kekuasaan militer telah terjadi dan diperkirakan akan terus berlanjut,” demikian petikan lain dari pernyataan Departemen Luar Negeri Amerika itu.
BACA JUGA: Lagi, 14 Demonstran Tewas di MyanmarPada pertengahan Februari lalu, Departemen Luar Negeri Amerika telah menyetujui “pulangnya staf non-darurat dan keluarga mereka secara sukarela” dan menambahkan departemen itu “telah memperbarui status itu menjadi perintah untuk meninggalkan Myanmar.”
Pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 512 warga sipil sejak kudeta 1 Februari, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Korban tewas termasuk lebih dari 100 orang pada hari Sabtu ketika rezim melakukan unjuk kekuatan besar-besaran untuk Hari Angkatan Bersenjata, yang memperingati dimulainya perlawanan lokal terhadap pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. AAPP menyebutkan korban tewas pada hari Sabtu di 141.
BACA JUGA: Biden: Pertumpahan Darah di Myanmar 'Sangat Keterlaluan'Dua orang lagi tewas hari Selasa (30/3) ketika ribuan pengunjuk rasa pro-demokrasi turun lagi ke jalan-jalan. Gerakan pembangkangan sipil menggunakan taktik lain dengan cara penduduk di Yangon membuang sampah di persimpangan jalan di seluruh kota itu.
Sementara itu, tiga orang dari kelompok pemberontak etnis bersenjata mengancam junta militer hari Selasa, akan melakukan pembalasan jika tidak berhenti membunuh para pemrotes.
Militer memperluas tindakan kerasnya dengan melancarkan serangan udara terhadap pemberontak etnis Karen di Myanmar timur sebagai tanggapan atas serangan pemberontak terhadap kantor militer dan kantor polisi dalam beberapa hari terakhir. Serangan udara tersebut mendorong ribuan orang melarikan diri melalui hutan dan menyeberang perbatasan ke negara tetangga Thailand.
Seorang penduduk desa etnis Karen mengatakan, “Tadi malam, kami tidak menyadari kalau pesawat-pesawat tempur tiba-tiba menyerang dan membom secara acak, lalu pergi. Pada larut malam, pesawat-pesawat itu datang lagi dan setelah itu kami mendengar suara-suara tembakan."
Thailand membantah tuduhan badan-badan bantuan kemanusiaan bahwa tentaranya telah memaksa pengungsi untuk kembali ke Myanmar.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengadakan pertemuan tertutup pada hari Rabu ini untuk membahas situasi di Myanmar. Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal Guterres, mengatakan kepada Margaret Besheer dari VOA bahwa “apa yang ingin kami lihat adalah pesan yang sangat kuat dan terpadu dari anggota Dewan Keamanan kepada militer di Myanmar untuk menghentikan kekerasan, untuk membebaskan para tahanan politik, untuk mengembalikan negara itu kepada rakyat Myanmar, dan untuk mendorong perjalanan Utusan Khusus kami ke Myanmar.”
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memimpin Myanmar sejak pemilu demokratis terbuka pertama pada 2015, tetapi militer Myanmar tidak menerima hasil pemilu November lalu yang dimenangkan secara telak oleh NLD dengan alasan terjadi kecurangan yang meluas. Tuduhan itu sebagian besar tidak berdasar.
Pada tanggal 1 Februari, militer menggulingkan pemerintahan NLD, menahan Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Keadaan darurat militer telah diberlakukan di kota-kota di seluruh Myanmar. [em/ah], [lt/ab], [ps/ka]