Musisi Ananda Badudu mengkritik gerakan hak asasi manusia karena terkesan berat. Pendekatan yang dilakukan selama ini menurutnya masih melangit. Misalnya penggunaan istilah HAM, demokrasi, atau impunitas, yang belum tentu dimengerti orang pada umumnya. Dia mengusulkan strategi bahasa yang lebih sederhana dan tetap mencerminkan nilai yang diusung.
“Apa yang muncul di kepala orang-orang kalau misalnya dia mendengar kata HAM? Apa yang muncul di kepala orang-orang kalau dia mendengar kata pemerintah bersih, berani jujur itu hebat, atau stop kekerasan? Itu kan sebenarnya intinya sama, tapi bahasanya lebih memasyarakat,” ujarnya kepada wartawan usai diskusi di Jakarta, Selasa (5/1/2019)
Musisi yang belakangan disebut sebagai aktivis ini mengatakan, ketimbang memakai istilah HAM, lebih baik pakai istilah hati nurani. Pelanggaran nurani, ujarnya, langsung dapat dimengerti.
“Dari kecil kita sudah punya konsep nurani dan diajarkan kepada kita mana baik mana salah. Kita sudah akrab dengan konsep itu sejak kecil. Sementara kalau HAM itu kan konsep yang kita pelajari mungkin pas kita SMP SMA,” jelasnya yang kini berkarir solo.
Istilah HAM memang terkesan eksklusif dan hanya muncul ketika ada pelanggaran. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menyebarkan pemahaman.
BACA JUGA: Meski Bebas, Penangkapan Dhandy dan Ananda Diduga Salahi ProsedurCara Kreatif Mudahkan Edukasi Publik
Organisasi pemuda Pamflet Generasi, misalnya, menjangkau siswa sekolah dengan cara-cara kreatif. Komunitas ini menjangkau siswa penyuka komik dan vlog. Akbar Restu dari Pamflet mengatakan metode itu berhasil menciptakan kelompok jangkauan baru.
“Dari situ kita merasa bahwa oh iya ini adalah peluang banget. Apalagi dunianya mereka -ketika kita sharing- dunia yang tidak kita bayangkan. Teman-teman yang tidak kita bayangkan,” terangnya dalam kesempatan yang sama.
Your browser doesn’t support HTML5
Pamflet telah menerbitkan sejumlah buku untuk segmen anak muda. Berbagai judul seperti “Ini Itu Demokrasi”, “Yang Kelewat di Buku Sejarah”, “Semua Yang Mau Kamu Ubah tapi Susah”, diharapkan membuat isu besar mudah dicerna.
Selain itu, Pamflet pun menggaet seniman dan pembuat konten digital.
“Untuk bisa naikin isu kita perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak agar isunya naik dan itu yang Pamflet terus lakukan. Ketika Pamflet nggak punya teman misalnya di isu A, kita akan nyari teman yang ada di situ. Kita akan gabung untuk nyebar isunya bareng-bareng,” paparnya lagi.
Komnas HAM Gelar Festival HAM
Lembaga negara independen seperti Komnas HAM punya caranya sendiri. Komnas menggelar Festival HAM sebagai ajang pendidikan masyarakat umum. Di tahun ke enam, gelaran ini akan diadakan di Jember, Jawa Timur.
Penyuluh HAM Sri Sahayu mengatakan, festival ini berupaya menyadarkan masyarakat bahwa HAM sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Menurutnya, HAM tidak melulu soal pelanggaran HAM berat.
“HAM menurut lo apa? Pasti pikirannya yang berat. 65, 98 Petrus, kemudian Talangsari dan Tanjung Priok. Padahal kan HAM itu menyangkut di semua aspek kehidupan,” terangnya.
BACA JUGA: Safenet: Indonesia Akan Masuk Siaga 1 Kemerdekaan BerekspresiAyu menjelaskan, warga negara punya hak atas pendidikan, infrastruktur yang baik, dan lapangan pekerjaan, yang semuanya harus dipenuhi pemerintah. Warga juga didorong untuk aktif dalam pembangunan di daerah masing-masing.
“(Kabupaten/kota) milik seluruh masyarakat sipil yang ada di dalamnya. Seluruh elemen itu mempunyai tanggung jawabnya sendiri dan hak untuk berpartisipasi untuk mengembangkan kabupaten/kotanya,” jelasnya. [rt/em]