Pemimpin de-facto Myanmar, Aung San Suu Kyi telah membatalkan rencananya menghadiri sidang Majelis Umum PBB bulan ini di tengah-tengah kecaman internasional yang meningkat terhadap penanganan pemerintahnya terhadap kekerasan di Myanmar barat yang memaksa sekitar 370 ribu Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Juru bicara pemerintah Zaw Htay mengatakan, Rabu (13/9), peraih Nobel Perdamaian itu akan tetap berada di Myanmar untuk menangani situasi keamanan yang bergejolak di sana.
Aung San Suu Kyi selama ini dianggap sebagai ikon demokrasi karena penahanannya yang berlangsung puluhan tahun di bawah mantan penguasa militer Myanmar. Namun ketidakpeduliannya terhadap nasib buruk yang dialami Rohingya di negara bagian Rakhine, mengundang kecaman banyak pemerintah dan aktivis HAM, termasuk sejumlah sejawatnya yang pernah meraih Nobel Perdamaian.
Suu Kyi membantah banyak laporan mengenai nasib Rohingya dan menyebutnya berita bohong yang dirancang untuk mendukung kepentingan teroris.
Dewan Keamanan PBB dijadwalkan akan mengadakan pertemuan darurat, Rabu, untuk membahas kekerasan dan krisis kemanusiaan di Rakhine. Pertemuan itu diminta Inggris dan Swedia, Senin, setelah kepala urusan HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyebut perlakuan terhadap Rohingya merupakan contoh tindakan pembersihan etnis.
Kekerasan di Rakhine pertama kali pecah 25 Agustus setelah sekelompok militan Rohingya menyerang puluhan pos polisi dan sebuah pangkalan militer. Aksi itu dilakukan para militan sebagai usaha untuk melindungi kelompok minoritas tersebut dari penindasan. Sekitar 400 orang tewas dalam bentrokan-bentrokan itu. Serangan kontra militer untuk mengatasi kekerasan tersebut memicu eksodus Rohingya ke Bangladesh. [ab/uh]