Bank Dunia Siapkan Rencana Bantuan Finansial bagi Kepulauan Pasifik

PM Kepulauan Solomon Jeremiah Manele, kedua dari kanan, menghadiri pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping, di Aula Besar Rakyat di Beijing, China, 12 Juli 2024.

Bank Dunia tengah mempersiapkan sebuah rencana bantuan finansial untuk negara-negara di Kepulauan Pasifik, yang didukung oleh AS dan Australia. Sebab, perginya bank-bank Barat dari pasar yang tidak menguntungkan di sana menimbulkan kekhawatiran bahwa China dapat mengisi kekosongan di kawasan strategis tersebut.

Tanpa adanya backstop (sokongan atau jaminan akhir), sejumlah besar anggota dari total 18 negara dan wilayah kecil yang tergabung dalam Forum Kepulauan Pasifik, yang mencakup 30 juta km persegi lautan, terancam terputus dari pasar keuangan global ketika bank-bank Barat meninggalkan wilayah yang kurang berkembang itu—sebuah situasi yang disebut sebagai “Armageddon” oleh seorang pejabat Australia yang terlibat dalam rencana tersebut.

Dalam sebuah pernyataan surelnya, Bank Dunia menyatakan proposal senilai $77 juta (sekitar Rp1,2 triliun) itu memungkinkan dibukanya akses darurat ke dolar atau mata uang utama lainnya yang dibutuhkan oleh negara-negara kepulauan terpencil itu untuk perdagangan dan pengiriman uang, jika bank-bank Barat memutuskan hubungan dengan mereka.

Kawasan yang sejak lama dianggap sebagai kerabat maritim oleh Washington itu terjebak dalam persaingan negara-negara adidaya untuk meningkatkan pengaruh mereka di sana, seiring dengan upaya pendekatan yang digencarkan China.

BACA JUGA: Latihan Perang RIMPAC Digelar untuk Kirim Pesan Kuat ke China

Nauru, Kepulauan Solomon dan Kiribati mengalihkan dukungan diplomatik mereka dari Taiwan ke Beijing dalam beberapa tahun terakhir, dan Kepulauan Solomon telah membuat pakta keamanan dan kepolisian dengan China, yang memicu kekhawatiran AS dan Australia.

Pembatasan kontrol perbankan pascakrisis keuangan pada tahun 2008 telah membuat para pemberi pinjaman dari Barat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan Pasifik, di mana bank-bank dan lembaga-lembaga regulator sering kekurangan sumber daya untuk mendeteksi kejahatan keuangan dan menuntut pelakunya, sehingga meningkatkan risiko yang mengakibatkan bank terjebak dalam skandal yang memalukan dan merugikan.

China Tunjukkan Minat Seiring Keluarnya Bank-bank Barat

Tanpa adanya akses ke bank-bank di luar negeri, negara-negara Kepulauan Pasifik akan kesulitan menerima pengiriman uang—komponen utama ekonomi mereka—untuk menyambut para wisatawan atau berdagang dengan negara-negara lain. Seiring dengan semakin berkurangnya persaingan, biaya pengiriman uang di sana naik menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

“Ini bisa menciptakan ketidakstabilan dalam sistem keuangan,” ujar Denton Rarawa, penasihat ekonomi senior di Forum Kepulauan Pasifik.

Antara tahun 2011 dan 2022, kawasan Pasifik kehilangan 60% relasi bank-bank korespondennya, di mana bank-bank Barat bermitra dengan bank-bank lokal untuk memungkinkan transaksi dalam mata uang internasional.

Bank AZN telah menjual asetnya di Papua Nugini, Westpac mencoba menjual bisnisnya di Pasifik, dan satu-satunya pemberi pinjaman di Nauru, Bendigo Bank dari Australia, mengumumkan rencana untuk hengkang pada tahun 2025.

China tampaknya berupaya mengisi kekosongan tersebut.

Bank of China telah membuka kantor di Papua Nugini dan menandatangani nota kesepahaman dengan Nauru untuk melihat bagaimana mereka dapat melangkah masuk jika Bendigo Bank hengkang. Vanuatu minggu lalu meminta Bank of China untuk membuka cabangnya di negara itu.

Bank of China tidak memberikan tanggapan terkait langkah tersebut. [br/jm]