Meski pandemi masih melanda dan pemerintah menyatakan resesi, tidak seluruh sektor usaha terdampak. Karena itu, buruh berharap pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) tunai dibayarkan sebelum Lebaran.
Buruh meyakini, tetap ada perusahaan yang beroperasi normal meski di tengah pandemi. Setidaknya itu dialami oleh Wahyu Aji Purwoko, di Salatiga, Jawa Tengah. Kepada VOA dia mengaku, sejak awal COVID-19 melanda, perusahaan tempatnya bekerja tidak terdampak.
“Soalnya kerjanya itu tetap sama, pandemi atau tidak. Tetap ada lemburan, tetap ada kerjaan, temen-temen lemburnya juga sampai malam. Buruh baru juga tetap ada, maksudnya terus ada lowongan,” ujar Wahyu yang juga pengurus Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).
Tahun ini, ujarnya, bahkan tidak banyak terdengar pemutusan hubungan kerja di pabrik-pabrik di Jawa Tengah, seperti halnya di awal pandemi. Karena itulah, Wahyu berharap proses pembayaran THR Lebaran tahun ini lebih lancar.
Cicilan THR Ditolak
Sayangnya, Menteri Tenaga Kerja justru mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/6/HK.04/IV/2021. Kebijakan tentang pemberian THR tahun 2021 bagi pekerja atau buruh ini dinilai berpotensi melanggar hak-hak buruh. Ada kekhawatiran, banyak perusahaan memanfaatkan SE Menaker tersebut sebagai dalih mengurangi hak-hak buruh di tegah pandemi COVID 19.
BACA JUGA: Pekerjaan Perempuan Lebih Terdampak di Era PandemiBuruh menilai, SE Menaker ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Permenaker ini mengatur THR harus dibayarkan secara tunai selambat-lambatnya H-7 hari raya keagamaan. Mereka yang berhak menerima adalah pekerja tetap, pekerja kontrak, pekerja outsourcing, dan pekerja harian. Dalam Permenaker ini, tidak ada satupun ketentuan yang membenarkan pembayaran THR secara dicicil.
Namun di Jawa Tengah, kabar mengenai THR yang dicicil ini sudah mengemuka di sebagian wilayah. Karena itulah, LBH Semarang dan sejumlah serikat buruh mendirikan posko khusus untuk memantau persoalan ini hingga Lebaran nanti. Selain LBH Semarang, mereka yang terlibat adalah Kasbi Jateng, FSPIP-Kasbi, Federasi Serbuk Indonesia, FSBPI, FSPRIN, SP PUBG, dan SP Danamon Posko dibuka hingga 15 Mei 2021.
“Kami akan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk,” ujar Wahyu.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah sendiri sudah memperkirakan bahwa 20 persen dari total 1600-an perusahaan di wilayah itu akan mencicil THR kali ini. SE Menaker membuka kesempatan itu, tetapi dengan syarat bahwa buruh menyetujuinya. Perusahaan bahkan harus menunjukkan laporan keuangan sebagai salah satu syaratnya.
Tentu saja tidak semua buruh bisa menerima cicilan pembayaran THR. Ribuan buruh di PT Pan Brothers, di Boyolali, Jawa Tengah misalnya, pada Rabu, 5 Mei 2021 melakukan aksi unjuk rasa terkait hal ini. Dalam keterangan resmi tertanggal 6 Mei, perusahaan menyatakan terpaksa mencicil THR karena arus kas yang terganggu. Direksi juga menyanggupi pembayaran THR secara dicicil maksimal lima kali.
Demo serupa juga dilakukan ratusan buruh PT Eco Smart Garment Indonesia pada 6 Mei 2021. Sementara di Brebes, Jawa Tengah, ratusan buruh PT Agung Pelita Industrindo (API) protes karena THR yang diberikan perusahaan hanya Rp50 ribu.
BACA JUGA: Buruh Gendong, Perempuan Perkasa Tulang Punggung KeluargaPemerintah Harus Berpihak
Dian Septi dari FSBPI (Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia) mencatat, sejumlah laporan yang masuk ke federasi terkait pembayaran THR.
“Ada yang dicicil, ada yang tunai tetapi kurang dari satu bulan gaji, ada yang dicicil dan jika diakumulasikan sama dengan satu uang gaji, ada yang tidak mendapatkan THR. Semuanya totalnya 51,5 persen terkendala terkait THR dalam hal pembayarannya, dan yang sesuai Permenaker 49,5 persen,” kata Dian terkait data yang sudah masuk.
Dengan data itu, jumlah perusahaan yang bisa menunaikan pembayaran THR sesuai aturan yang ada, belum mencapai 50 persen sampai sepekan sebelum Lebaran.
Jika ditilik lebih dalam, kata Dian, yang paling terdampak adalah sektor pekerja informal. Para pekerja rumah tangga misalnya, ada yang menerima THR secara tunai tetapi besarannya kurang dari satu bulan gaji. Ada juga yang hanya menerima bingkisan barang atau bahkan tidak memperolehnya sama sekali.
Pekerja sektor garmen di sejumlah perusahaan juga terdampak dengan kesepakatan pembayaran THR secara dicicil. Sementara masalah lebih besar dialami buruh kontrak, pekerja outsourcing, pekerja magang, dan buruh lepas. Pekerja sektor industri kreatif yang menerima paket pekerjaan dari perusahaan dan mengerjakannya di rumah, juga tidak dianggap pekerja sehingga tidak menerima THR.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dalam catatan Badan Pusat Statistik, tahun lalu ada 4,6 persen pekerja yang beralih ke sektor informal seperti ojek online atau berjualan kopi. Tidak ada pengakuan dan perlindungan terhadap para pekerja informal seperti ini,” tambah Dian yang juga aktivis Ikatan Buruh Perempuan.
Dian mengingatkan, bahwa PP 78/2015 dan Permenaker 2016 tentang THR tidak membuka kesempatan pembayarannya secara dicicil. Karena itu dia mengaku heran, bahwa SE Menaker 2021 justru diterapkan dan seolah kedudukannya lebih tinggi dari aturan hukum diatasnya.
“Ada yang dicicil delapan kali, selesai sampai pasca Lebaran. Artinya perusahaan berhutang sama teman-teman buruh, dan itu tanpa melalui laporan keuangan ke Dinas Ketenagakerjaan,” tambah Dian.
Dia juga mengingatkan bahwa pemerintah harus berpihak pada buruh dibanding pengusaha karena posisi tawar keduanya tidak setara. Buruh yang lemah harus dilindungi, katanya, agar memiliki kemampuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. [ns/ab]