Diaspora Indonesia di Jerman Luncurkan Album di Spotify

  • Puspita Sariwati

Akila Loui, diaspora Indonesia di Jerman yang lahir di kota Magelang, Jawa Tengah, 25 tahun lalu (foto: courtesy).

Berkarya di negeri orang, dengan dunia beserta kehidupan dan adat-istiadat yang berbeda, tentunya tidak mudah. Namun bagi seorang perempuan muda, Akila Loui, kecintaannya akan musik menghasilkan suatu kepuasan batin. Impiannya menjadi kenyataan ketika tiga lagu single-nya diunggah oleh Spotify.

Lahir dengan nama Louissa Akila di Magelang 25 tahun lalu, Kila, panggilan akrabnya mencintai seni, khususnya musik sejak di bangku SMA di Yogyakarta. Namun ia mengaku, sebenarnya ia tidak bisa membaca notasi balok. Perasaan dan suasana hatinyalah yang membuatnya bisa menuangkannya ke dalam sebuah lagu.

“Kadang saya suka meluapkan emosi saya lewat karya seni. Dulu waktu kecil saya kurang menyadari, tapi lama-lama kalau misalnya sedang sedih, saya tiba-tiba nulis lagu gitu, saya merasa lebih lega aja. Sepertinya musik itu alat bagi saya untuk menyembuhkan diri saya sendiri. Jadi sampai sekarangpun saya tidak bisa membaca notasi musik. Jadi dalam memproduksi musik hanya berdasar feeling saja.”

Your browser doesn’t support HTML5

Diaspora Indonesia di Jerman Luncurkan Album di Spotify


Tekad mendalami musik

Kila kemudian berkeinginan mengubah hidupnya dengan pergi ke Berlin, Jerman untuk belajar produksi musik selama 3 tahun di Universitas Catalyst Music dan lulus Oktober tahun lalu.

Kila sempat membuat proyek musik solo yang ia produksi dan nyanyikan sendiri, namun akhirnya ia menyadari bahwa ia memerlukan mitra. Nah, dari sanalah ia bertemu Elias.

“Saya merasa, untuk motivasi belajar dengan pandangan bikin karya sendirian, mungkin untuk pembelajaran itu bagus, tetapi untuk di dunia profesional, kita tetap butuh orang lain. Itu yang saya syukuri karena bertemu dengan Elias. Soalnya kadang orang lain bisa membantu kita meraih inspirasi, supaya karyanya lebih bagus,” ujarnya.

Akila dan Elias (foto courtesy)

Menurut Kila, Elias yang nama lengkapnya Elias Olivera Graversen, bisa memahami perasaannya, sehingga mudah untuk menuangkannya dalam sebuah lagu. Penulisan liriknyapun mereka lakukan berdua.

Elias yang tamat dari Universitas BIMM Berlin itu memainkan piano dan atau keyboard dan juga menyanyi.

Dari singkatan nama mereka berdua, Akila dan Elias, jadilah band "AE" yang kini telah meluncurkan 3 lagu single yang bisa didengar di Spotify.

Saat ditanya apa warna musiknya Kila menjelaskan, “Impure pop, campuran dari semuanya. Jadi ada nuansa popnya, rocknya, dsb. Tapi karena ada vokalnya maka dianggap pop. Jadi kami mencampur semua warna (genre) musik yang sudah ada.”

Tembus di Spotify

Bertemuanya dua anak muda ini membuahkan lagu-lagu pop seperti Monkeys, In Silence, dan Mind Back.

Elias yang lahir di Kopenhagen, Denmark 23 tahun lalu mengomentari garapan musiknya bersama Kila, “Bekerja sama dengan Akila merupakan pengalaman yang baik bagi saya karena kami bisa saling mengenal melalui proses penulisan lagu. Jadi melalui itu kami banyak berdiskusi tentang Indonesa, kami menulis lagu cinta, namun sekaligus juga hal-hal lain itu bisa disisipkan ke dalam lagu-lagu itu.”

Tenyata jalan menuju ke Spotify bagi AE tidak terlalu rumit dan bisa dikatakan beruntung. Ketika itu keduanya mendapat bea siswa dari universitas masing-masing untuk membuat album selama satu bulan. Setelah itu, Kila meminta bantuan mantan dosennya yang pakar dalam hal mixing audio.

Ternyata mantan dosennya menyukai albumnya dan kemudian ia membantu distribusinya, dan memasukkannya ke dalam Record Jet di Berlin. Dari sanalah kemudian Kila bisa masuk ke wadah-wadah musik, termasuk Spotify.

Luncurkan Album Perdana "Small Hands"

Kini AE siap meluncurkan single keempatnya, “Water Drape” yang akan diluncurkan tanggal 10 September. Setelah itu, album perdananya yang mereka beri judul “Small Hands” juga akan diluncurkan. Dalam album ini, ada perspektif yang berbeda tentang cinta, seperti jatuh cinta di negara asing, dan perjuangan melalui liku-likunya.

Menurut Kila, dirinya mengalami krisis identitas ketika tinggal di negara asing. Perasaan bimbang untuk mengenal dan mencintai diri sendiri. Namun, pada akhirnya albumnya bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan, juga menjadi suatu cara untuk saling membuka diri bagi Akila dan Elias.

Akila menjadi model, dimuat dalam majalah Vogue Polandia. (foto: courtesy)

Makna ‘Small Hands’ atau ‘Tangan Kecil’ memiliki pemahaman yaitu, jika banyak tangan kecil bergandeng satu sama lain, perubahan besar bisa terjadi. Keberhasilan dapat diraih jika kita saling mendukung.

Album ini ditulis bulan November 2020 di Pusat Seni Eropa Hellerau di kota Dresden, Jerman.

Seorang sahabat lama Akila di Yogyakarta, Elisabeth Noviasari ikut merasa bangga atas karir musik Loui, demikian ia memanggil Akila.

“Aku benar-benar mengikuti perkembangan Loui dalam bermusik dari SMA sampai sekarang, dan memang berkembang banget skillnya. Sudah terlihat sejak dulu potensinya di musik itu keren. Dan membanggakan banget dia berani mengejar mimpinya sampai ke sana, akhirnya bikin AE sama Elias, dan aku sudah ngikuti juga AE sejak awal dan keren banget musiknya.”

Foto profil "AE" menampilkan lukisan di wajah Akila dan Elias, yang menurut mereka merupakan sarana untuk mendukung LGBTQ, kesetaraan gender, dan feminisme.

Elias & Akila (foto: courtesy)

Kila memiliki bakat ganda, selain menyanyi ia juga menjadi model yang mengenakan busana dari perancang Kai Gerhardt (Kai Fashion), dengan juru foto Dico Baskoro dan Kaska Jankiewicz. Karya mereka sempat dimuat di majalah Vogue Polandia.

Seperti konsep albumnya “Small Hands”, dengan saling membantu, bersama teman-temannya yang juru foto dan perancang busana, maka Kilapun terus berkarya dengan saling mengisi bersama mitra-mitranya. [ps/em]