Dinamika Global Dinilai Ikut Picu Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia

  • Fathiyah Wardah

Diskusi soal intoleransi dan radikalisme di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Senin (15/5). (VOA/Fathiyah Wardah)

Dinamika di tingkat nasional, regional dan global dinilai ikut memicu radikalisme dan intoleransi di Indonesia. Beberapa pakar menyatakan hal ini dalam dialog International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) di Jakarta hari Senin (15/5).

Sebagian pihak menilai radikalisme dan intoleransi makin berkembang setelah muncul kasus dugaan penistaan agama Islam oleh Gubernur Jakarta ketika itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Perkara ini muncul di tengah kampanye pemilihan gubernur Jakarta.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Mei lalu telah memvonis Ahok hukuman dua tahun penjara dan langsung menjebloskannya ke dalam tahanan. Vonis ini diputuskan majelis hakim hampir satu bulan setelah Ahok kalah dalam pemilihan. Beberapa media asing menuding kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno atas duet Ahok-Djarot Saiful Hidayat sebagai kemenangan kelompok Islam garis keras.

Namun, dalam diskusi soal intoleransi dan radikalisme di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hari Senin (15/5), beberapa pakar politik dan sosiolog di International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) A.S. Hikam mengatakan munculnya intoleransi dan radikalisme ini merupakan konsekuensi dinamika di tingkat nasional, regional, dan global. Hal ini memicu tumbuhnya ideologi-ideologi alternatif yang dianut aktor-aktor non-negara yang sebelumnya tidak mempunyai kesempatan untuk berkembang.

AS Hikam mengakui berkembangnya gerakan-gerakan radikal di Indonesia karena tidak adanya kekuatan negara yang betul-betul dominan seperti Orde Baru.

"Orde Baru itu hampir tidak memungkinkan adanya kelompok-kelompok non-neegara yang mempunyai kekuatan seperti FPI, JI, JAD, JAT, apalagi ISIS. Tidak mungkin karena sangat dominan dan hegemoninya negara. Ketika Orde Baru mengalami kehancuran pada 1998, maka terbukalah kemungkinan-kemungkinan baru itu. Apalagi kita mengadopsi satu sistem betul-betul bisa dimanfaatkan aktor-aktor non-negara itu, yaitu demokrasi," papar Hikam.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M. Imdadun Rahmat menjelaskan radikalisme di Indonesia memiliki dua akar, yakni lokal dan internasional. Di tingkat lokal, ada jaringan Islam radikal yang bersumber dari DI (Darul Islam)/TII (Tentara Islam Indonesia), yang kemudian terbagi menjadi mereka yang memiliki pemahaman Islam tradisional seperti Nadhlatul Ulama dan yang tetap radikal seperti Angkatan Mujahidin Indonesia, yang kerap melakukan acara tahlilan dan salawatan tapi juga tidak segan-segan melakukan pengeboman.

Lalu ada Front Pembela Islam (FPI), kelompok Islamis yang pro-kekerasan tetapi tidak sampai menyebar teror pada semua orang. Kemudian, tambah Imdadun, ada kelompok lebih lunak disebut Islamis konstitusional. Kubu ini memimpikan penegakan syariat Islam lewat koridor-koridor demokrasi.

Imdadun menambahkan akar lain adalah jaringan Islam radikal dari Timur Tengah, yang dikenal sebagai wahabis. Sebagian besar serangan bom yang dilakukan sejak awal tahun 2000 dilakukan oleh kelompok jihadis wahabis ini.

"Dari yang paling keras ada jihadis tapi wahabis. Ini sudah menghalalkan darah, melakukan kekerasan dengan teror dan juga mengkafirkan kelompok lain tidak sepakat dengan dia, membidahkan baca salawat, zikir, ziarah kubur, dan tahlilan. Itu ada Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharud Daulah," kata Imdadun.

Ada pula kelompok radikal yang lebih lunak yaitu Hizbut Tahrir, yang memperjuangkan ideologi tanpa kekerasan tetapi bermuara pada pengambilalihan kekuasaan dengan cara apapun. Hizbut Tahrir ini tidak mengakui demokrasi dan ingin mendirikan khilafah Islamiyah.

Selanjutnya ada kelompok Ikhwanul Muslimin, yang di Indonesia mengejawantah menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Cita-citanya tidak sampai pada pendirian khilafah tetapi menyerukan penegakan negara Islam lewat cara-cara konstitusional.

Kemudian ada yang disebut kelompok salafi didanai oleh Arab Saudi, yang kerap mencap kelompok lain melakukan bid’ah dan melakukan perbuatan syirik.

Your browser doesn’t support HTML5

Dinamika Global Dinilai Ikut Picu Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia

Ketua YLBHI (Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Asfinawati mengatakan ada tiga bentuk intoleransi, yakni diskriminasi, syiar kebencian, dan kekerasan. Dia menambahkan intoleransi juga muncul dalam kasus penodaan agama.

"Sebetulnya ada orang yang diam-diam saja menjalankan hal yang sedikit berbeda atau mungkin tidak ada yang berbeda, tapi kemudian ada orang melakukan fitnah, syiar kebencian, sehingga muncullah kebenciaan di massa dan massa menyerang. Orang yang diserang kemudian menjadi terdakwa atau tersangka penodaan agama. Ini sebetulnya adalah kebencian yang diproduksi karena selalu ada jeda waktu antara orang yang melakukan tindakan dianggap penodaan agama dengan kemarahan massa," ungkap Asfinawati.

Bentuk intoleransi lainnya menurut Asfinawati adalah penolakan rumah ibadah, yang dalam kasus bahkan bermuara pada penolakan umat ibadah lain untuk beribadah, dan bukan sekedar menolak pendirian atau pembentukan rumah ibadah. [fw/em]