Filipina Tunda Pemilu di Wilayah Muslim yang Bergejolak

Wali Kota Ibu Kota Filipina Francisco Domagoso dan Dr Willie Ong berpose setelah mengajukan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2022, di Pasay City, Metro Manila, Filipina, 4 Oktober 2021. (Foto: Ezra Acayan via REUT

Pemerintah Filipina mengatakan, Jumat (29/10), akan menunda pemilu legislatif di wilayah Muslim yang bermasalah. Mereka menyatakan, pandemi dan proses perdamaian yang macet sebagai alasan penundaan itu.

Pemilu tersebut adalah ketentuan utama dalam perjanjian damai 2014 yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang diperkirakan telah merenggut 150.000 nyawa di Daerah Otonomi Bangsamoro di Mindanao, Filipina Selatan.

Pemilu itu tadinya direncanakan akan berlangsung Mei mendatang. Namun para mantan pemberontak dari kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang ditunjuk untuk memimpin pemerintahan transisi, mengatakan mereka membutuhkan lebih banyak waktu sebelum pemilu legislatif setempat dapat dilangsungkan. Mereka menyatakan pemilihan sebaiknya diselenggarakan pada 2025.

"Presiden Rodrigo Roa Duterte kemarin menandatangani rancangan undang-undang, yang menjadwal ulang penyelenggaraan pemilu di Daerah Otonomi Bangsamoro di Mindanao menjadi 2025," kata juru bicaranya, Harry Roque, kepada wartawan.

BACA JUGA: Putra Mantan Mendiang Diktator Filipina Calonkan Diri Sebagai Presiden

Undang-undang tersebut memberi Duterte wewenang untuk menunjuk para anggota pemerintah transisi yang jumlahnya 80 orang dan masa jabatannya akan berakhir pada pemilu 2025, kata Roque.

Para mantan pemberontak MILF telah memperingatkan bahwa kegagalan proses perdamaian kemungkinan akan mendorong para pemuda Muslim yang kecewa di wilayah itu bergabung dengan kelompok-kelompok Islam garis keras yang masih melakukan perlawanan bersenjata di Filipina selatan.

Tetapi berbagai pembatasan yang diberlakukan karena pandemi dan ketidakmampuan pemerintah transisi untuk menyusun undang-undang pemilihan telah membuat mereka tidak punya banyak pilihan selain menunda pemilu.

Sebuah laporan -- yang dirilis kelompok pemantau perdamaian International Crisis Group yang berbasis di Brussels -- mengungkapkan April lalu bahwa proses penonaktifan 40.000 anggota MILF tidak berjalan mulus dan hanya kurang dari sepertiga dari mereka yang telah meletakkan senjata.

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa pemerintah Duterte lambat mendistribusikan paket ekonomi yang dimaksudkan untuk membujuk para pemberontak untuk bekerja sama. [ab/uh]