Larangan ekspor mineral mulai 2014 diperkirakan akan membuat pendapatan Freeport berkurang 65 persen dan Indonesia kehilangan penghasilan US$1,6 miliar.
JAKARTA —
Freeport McMoRan Copper & Gold memperingatkan bahwa rencana pemerintah Indonesia untuk melarang ekspor mineral mulai bulan depan akan mengurangi pendapatan perusahaan di negara ini sebanyak 65 persen, membuat Indonesia akan kehilangan penghasilan US$1,6 miliar pada 2014.
Mulai Januari, perusahaan-perusahaan tambang harus memproses bijih mineral sebelum mengirimkannya ke luar negeri, sebagai bagian dari kebijakan-kebijakan untuk mendorong nilai ekspor bahan mentah dari Indonesia, yang merupakan eksportir top dunia untuk bijih nikel, batubara termal dan timah halus.
Namun kejatuhan rupiah, defisit perdagangan yang genting dan protes-protes dari kalangan industri membuat Indonesia mempertimbangkan langkah tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan akan memberikan keputusan final mengenai larangan itu segera.
“Kami mencoba menginformasikan dan meyakinkan pemerintah betapa seriusnya hal ini,” ujar CEO Freeport Indonesia Rozik Soetjipto kepada kantor berita Reuters.
Minggu lalu, para anggota legislatif mengatakan mereka tidak akan memperlemah aturan tersebut, yang diadopsi lima tahun lalu, dan aturan itu harus berjalan seperti dijadwalkan.
Jika tidak ada perubahan atas larangan tersebut, Freeport diperkirakan akan kehilangan pendapatan sekitar $5 miliar tahun depan, atau 65 persen dari total pendapatannya di Indonesia, akibat kerugian produksi dari tambang tembaga terbesar kedua di dunia itu.
Raksasa pertambangan AS itu memperkirakan bahwa hasil tambang Grasberg akan turun 60 persen tahun depan, terdiri dari pengurangan 450 kilogram tembaga dan 1,7 juta ons emas. Hal ini juga akan berimbas pada pemecatan setengah dari 15.000 pekerjanya di Indonesia.
Bagi Indonesia sendiri hal itu berarti hilangnya $1,6 miliar dari pendapatan pajak, royalti dan dividen, atau 0,6 persen dari pertumbuhan PDB. Bank sentral memperkirakan pertumbuhan PDB akan mencapai sekitar 6 persen pada 2014, dibandingkan dengan 5,7 persen tahun ini.
“Yang kami coba yakinkan pada pemerintah dan para anggota parlemen adalah bahwa mengizinkan kami terus mengekspor produk kami tidak akan melanggar undang-undang,” ujar Rozik.
Freeport baru-baru ini memproses hanya sekitar 40 persen dari bijih yang ditambang di dalam negeri pada satu pabrik peleburan di Jawa Timur, sementara undang-undang mewajibkan untuk melakukan peleburan semua hasil penambangan di Indonesia mulai pertengahan Januari.
PT Indovasi dan PT Indosmelt berencana untuk membangun pabrik peleburan atau smelter untuk mengambil bijih dari Freeport, namun pembangunannya belum dimulai. (Reuters/Fergus Jensen)
Mulai Januari, perusahaan-perusahaan tambang harus memproses bijih mineral sebelum mengirimkannya ke luar negeri, sebagai bagian dari kebijakan-kebijakan untuk mendorong nilai ekspor bahan mentah dari Indonesia, yang merupakan eksportir top dunia untuk bijih nikel, batubara termal dan timah halus.
Namun kejatuhan rupiah, defisit perdagangan yang genting dan protes-protes dari kalangan industri membuat Indonesia mempertimbangkan langkah tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan akan memberikan keputusan final mengenai larangan itu segera.
“Kami mencoba menginformasikan dan meyakinkan pemerintah betapa seriusnya hal ini,” ujar CEO Freeport Indonesia Rozik Soetjipto kepada kantor berita Reuters.
Minggu lalu, para anggota legislatif mengatakan mereka tidak akan memperlemah aturan tersebut, yang diadopsi lima tahun lalu, dan aturan itu harus berjalan seperti dijadwalkan.
Jika tidak ada perubahan atas larangan tersebut, Freeport diperkirakan akan kehilangan pendapatan sekitar $5 miliar tahun depan, atau 65 persen dari total pendapatannya di Indonesia, akibat kerugian produksi dari tambang tembaga terbesar kedua di dunia itu.
Raksasa pertambangan AS itu memperkirakan bahwa hasil tambang Grasberg akan turun 60 persen tahun depan, terdiri dari pengurangan 450 kilogram tembaga dan 1,7 juta ons emas. Hal ini juga akan berimbas pada pemecatan setengah dari 15.000 pekerjanya di Indonesia.
Bagi Indonesia sendiri hal itu berarti hilangnya $1,6 miliar dari pendapatan pajak, royalti dan dividen, atau 0,6 persen dari pertumbuhan PDB. Bank sentral memperkirakan pertumbuhan PDB akan mencapai sekitar 6 persen pada 2014, dibandingkan dengan 5,7 persen tahun ini.
“Yang kami coba yakinkan pada pemerintah dan para anggota parlemen adalah bahwa mengizinkan kami terus mengekspor produk kami tidak akan melanggar undang-undang,” ujar Rozik.
Freeport baru-baru ini memproses hanya sekitar 40 persen dari bijih yang ditambang di dalam negeri pada satu pabrik peleburan di Jawa Timur, sementara undang-undang mewajibkan untuk melakukan peleburan semua hasil penambangan di Indonesia mulai pertengahan Januari.
PT Indovasi dan PT Indosmelt berencana untuk membangun pabrik peleburan atau smelter untuk mengambil bijih dari Freeport, namun pembangunannya belum dimulai. (Reuters/Fergus Jensen)