Kemenkes Perkirakan Warga Berada di Pengungsian Selama Enam Bulan

  • Yoanes Litha

Susi Rahmatia, 26, memeluk anak keduanya (kanan) dan Jumadil (kiri), 5, setelah hilang selama tujuh hari, di sebuah pengungsian di Palu, 5 Oktober 2018. Susi mengira anaknya meninggal, tapi pada hari Jumat, seminggu setelah mereka terpisah akibat gempa dan tsunami, mereka kembali bertemu.

Tenaga-tenaga kesehatan telah dikirim untuk membantu memberi pelayanan kesehatan bagi warga masyarakat di Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang terdampak gempa bumi 7,4 pada 28 September lalu. Dengan dukungan relawan dokter dan perawat yang datang dari berbagai pelosok Indonesia itu, seluruh puskesmas dan rumah sakit juga dimaksimalkan.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr. Achmad Yurianto mengatakan pihaknya berupaya mendorong agar pengungsi yang masih terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil mau bergabung dengan kelompok pengungsi yang lebih besar untuk memudahkan akses pelayanan kesehatan, pasokan logistik bahan makanan dan minuman, serta sarana mandi cuci kakus (MCK) Komunal dan air bersih. Dampak gempa bumi dan tsunami di Palu diperkirakan akan membuat banyak warga Palu dan sekitarnya yang masih akan berada di lokasi-lokasi pengungsian selama setidaknya enam bulan.

BACA JUGA: Bantuan Terus Mengalir ke Palu 

“Harapan kita ini bisa lebih mendapatkan layanan yang maksimal, karena kita menyadari betul bahwa konteks bencana gempa ini akan menyebabkan pengungsian itu akan berlangsung cukup lama, bisa lebih dari enam bulan, oleh karena itu harus kita tata,” ujar Yurianto kepada VOA.

Penataan pengungsi ini diharapkan akan rampung dua minggu sejak terjadinya gempa dan tsunami 28 September.

Sejak Jum’at (5/10) lalu pelayanan kesehatan bagi warga terdampak gempa semakin digencarkan. Sedikitnya 19 puskesmas di Kabupaten Sigi, 18 puskesmas di Donggala, serta 13 puskesmas di Kota Palu dengan bantuan relawan dokter dan perawat kesehatan dari berbagai wilayah di Indonesia, dibuka sejak pagi hari untuk melayani kebutuhan warga.

BACA JUGA: PBB: Perlu 50,5 Juta Dolar untuk Bantu Korban Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah.

Data terakhir yang diperoleh VOA pada hari Jum’at menunjukkan ada 103 dokter umum, 81 dokter spesialis dan 430 perawat yang telah dikirim oleh Kementerian Kesehatan. Para tenaga kesehatan tersebut juga akan mendukung pelayanan kesehatan bagi warga masyarakat terdampak gempa di 11 rumah sakit di Kota Palu.

"Ada 11 rumah sakit yang sudah kita aktifkan penuh, kasusnya juga sama, rumah sakit ini tidak mengalami kerusakan apa-apa, hanya berantakan karena gempanya, namun SDM (Sumber Daya Manusia) nya yang tidak ada, karena merekapun korban. Ini kita isi dengan tenaga dari para relawan."

Para petugas kesehatan juga melakukan kegiatan “outreach” – yaitu semacam program dimana mereka datang langsung menemui para korban yang tidak dapat menjangkau tempat-tempat penampungan atau fasilitas medis untuk mendapat pengobatan karena keterbatasan atau tidak adanya sarana transportasi.

BACA JUGA: Bantuan Asing untuk Palu Telah Mencapai 220 Miliar Rupiah

Trauma Healing bagi Anak-anak di Pengungsian

Selain pelayanan kesehatan, para relawan juga melakukan kegiatan-kegiatan trauma healing atau pemulihan trauma untuk menghibur anak-anak yang berada di lokasi-lokasi pengungsian. Kegiatan tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan bermaian, bercerita dan mewarnai gambar.

Psikolog anak Seto Mulyadi yang ditemui VOA di sela-sela kegiatan trauma healing di Posko Pengungsian Kantor Dinas Sosial Sulawesi Tengah mengaku kagum dengan kerja-kerja para relawan yang mampu membuat anak-anak tetap bersemangat dan ceria.

Psikolog Anak Seto Mulyadi melakukan kegiatan trauma healing di Posko Pengungsian.

“Saya pikir anak akan sangat trauma, tidak spontan, tidak ceria dan sebagainya, tapi begitu saya lihat di beberapa tempat, di tenda-tenda yang banyak terdapat relawan-relawan yang sangat peduli, yang memberikan trauma healing yang sangat praktis, ternyata anak-anak cepat sekali bangkit, luar biasa sekali,” tuturnya.

Seto mengakui pemulihan trauma anak pasca gempa bergantung pada situasi yang dialami ketika peristiwa gempa terjadi. Trauma anak yang sekedar merasakan guncangan gempa akan jauh berbeda dengan mereka yang terseret arus tsunami, atau yang kehilangan orang tua dan anggota keluarga dalam musibah itu. [yl/em]