Hadapi Sentimen Anti-Asia di AS, Diaspora Indonesia Kirim Email hingga Latihan Menembak

  • Utami Hussin

Nicole Navarro (kiri) dan Adriana Retana, yang giat berlatih menembak di sebuah sarana pelatihan menembak di El Paso, Texas, pasca penembakan di Walmart yang menewaskan 22 orang, 12 Agustus 2019. (REUTERS/Julio-Cesar Chavez)

Sentimen anti-Asia di Amerika Serikat yang terasa meningkat belakangan ini menimbulkan tanggapan beragam di kalangan diaspora Indonesia. Ada yang menginginkan isu diangkat secara luas, hingga ada yang berjaga-jaga membawa peralatan khusus sampai berupaya kembali latihan menembak.

Maryam Barokah telah memposting isu mengenai sentimen anti-Asia yang kian meningkat belakangan ini sejak Februari lalu. Ia risau karena teman-temannya lebih peduli untuk memposting berita mengenai selebriti daripada membahas sentimen yang telah menimbulkan korban itu.

Pelajar kelas 8 di SMP Smart’s Mill itu tergerak untuk mengirim email kepada kepala sekolahnya beberapa hari setelah insiden penembakan di kota Atlanta, di mana enam di antara delapan korban tewas adalah keturunan Asia. Maryam antara lain menuliskan harapan agar sang kepala sekolah membantu meningkatkan kesadaran para siswa mengenai masalah itu.

Maryam Barokah (kiri) dan ibundanya Nur. (Foto: dok/pribadi)

Surat itu ditanggapi keesokan harinya dengan pengumuman yang disiarkan sekolah, berisikan penjelasan mengenai rasisme yang dialami warga Amerika keturunan Asia. Sang kepala sekolah juga menegaskan janji untuk mengatasinya jika hal tersebut terjadi di lingkungan sekolahnya.

Apakah ini membawa perubahan?

Maryam mengatakan semakin banyak pelajar, baik di sekolahnya sendiri maupun di SMP dan SMA di sekitarnya yang lebih tanggap terhadap sentimen anti-Asia. Termasuk di antaranya dengan memposting atau membahas isu terkait yang sedang terjadi di AS itu.

Tidak seperti di kota Leesburg, Virginia, tempat Maryam dan keluarganya tinggal, Kota New York mencatat laporan mengenai insiden anti-Asia yang termasuk tinggi. Ini disampaikan Center of Hate and Extremism di California State University dalam laporannya mengenai insiden kebencian terhadap warga keturunan Asia di 16 kota besar di AS pada tahun 2019-2020.

Meski begitu, tidak semua warga kota New York menghadapi atau mengalami langsung insiden anti-Asia, seperti yang disampaikan oleh Christine Saragih, yang bermukim di sana sejak 2005.

“Tetapi saya mendengar cerita dari tempat kerja saya mengenai orang yang kebetulan saya gantikan posisinya. Tahun lalu dia pernah didatangi seseorang yang mengatakan gara-gara Asian virus, kita harus mengalami pandemi ini. Sejak itu dia tidak mau datang bekerja lagi karena takut.”

Carina Subagio. (Foto: pribadi)

Terlepas dari kekerasan fisik, Christine mengakui ia semakin merasakan dan melihat sendiri betapa orang-orang keturunan Asia sering diremehkan seperti warga kelas dua.

“Iya, sejak dulu. Sekarang ini makin terasa. Contohnya, kita ingin menanyakan sesuatu di supermarket, mereka tidak menjawabnya atau meresponsnya dengan baik,” jelasnya.

Di tempat kerja, ujarnya, orang-orang keturunan Asia kerap tak dipandang sebelah mata bila tidak berbahasa Inggris dengan lancar.

Menanggapi sentimen dan kekerasan anti-Asia yang meningkat, Christine tidak mengambil langkah khusus selain bersikap lebih berhati-hati. Ia meyakini masih banyak orang baik yang akan menolongnya. Satu hal yang ia soroti adalah peran media dalam memberitakan kasus semacam ini. Ia berharap media menawarkan solusi bagi masalah ini dan bukannya menggiring opini masyarakat yang memancing emosi mereka.

Albert Irwans. (Foto: Dok/Pribadi)

Sekitar dua jam perjalanan dari New York, tepatnya di kota Philadelphia, Albert Irwans dan istrinya bermukim sejak 13 tahun silam. Menurutnya, situasi terkait rasisme di sana memburuk. Belum lama dari kejadian penembakan di Atlanta, sudah kabar ada pemukulan warga keturunan Asia di kota itu dan dua orang keturunan Indonesia menjadi korbannya, kata Albert.

Kepolisian setempat telah mengeluarkan selebaran berisi peringatan untuk berhati-hati bagi komunitas Asia. Komunitas Indonesia yang juga cukup besar di sana bahkan sudah sering diimbau oleh gereja-gereja atau masjid setempat agar membatasi keluar rumah, katanya. Albert dan istrinya kini sangat berhati-hati kalau berjalan-jalan di kota itu, termasuk menjadi lebih waspada terhadap orang-orang yang mereka temui di jalan.

Sementara itu, Carina Subagio yang telah menetap di Atlanta, Georgia sejak 2007 mengaku baru merasakan sentimen anti-Asia sejak pandemi virus corona merebak dalam dua tahun ini. “Gara-gara pas virus corona itu disebut China virus, kan.”

Your browser doesn’t support HTML5

Diaspora Indonesia Menentang Sentimen Anti-Asia

Ia merasa tidak menjadi target karena rasnya, karena menurutnya masih ada saja orang Amerika yang memandang sempit ras Asia hanyalah karena memiliki ciri khas bentuk mata atau warna kulit tertentu. Ia sendiri tidak memiliki ciri-ciri fisik seperti itu. Kalau pun menjadi target, ia menduga mungkin ini karena ia berhijab.

Namun perempuan yang sebelumnya tinggal di negara bagian Virginia itu mengaku sudah terbiasa membawa pepper spray (semprotan cabai) untuk berjaga-jaga, terutama sewaktu memarkir mobil yang jauh dari tempat tujuannya.

BACA JUGA: Bawa Enam Senjata, Seorang Pria Ditangkap di Supermarket di Atlanta

Apa yang dikhawatirkan Carina dan suaminya adalah betapa mudahnya orang membeli senjata api di Amerika. Pasangan Indonesia-Bangladesh ini sendiri telah sejak tahun 2019 berusaha mendapatkan lisensi kepemilikan senjata api.

“Kebetulan ada kelompok di masjid yang berlatih menembak dengan pengajar perempuan dan saya ikut berlatih,” jelasnya.

BACA JUGA: Sentimen Anti-Asia Meningkat, Apakah Diaspora Indonesia Merasa Aman di AS?

Setelah pandemi merebak, latihan bahkan terhenti. Begitu penembakan di Atlanta terjadi, Carina diingatkan suaminya untuk mulai berlatih menembak bersama-sama lagi.

Meski unjuk rasa menentang sentimen anti-Asia marak, Carina tidak merasa itu cara terbaik untuk mengatasi masalah. Yang lebih penting baginya adalah bermasyarakat, bergaul baik dengan orang-orang di sekitarnya. [uh/ab]