Wakil Gubernur DI Yogyakarta, Sri Paduka Pakualam X, menjadi pejabat lokal tertinggi penerima vaksin gelombang pertama. Sri Sultan Hamengkubuwono X, gubernur sekaligus raja Keraton Yogyakarta tidak masuk kategori penerima vaksin, karena faktor usia.
“Tidak ada rasanya, hanya seperti disuntik biasa,” kata Paku Alam X yang ditemui seusai penyuntikan.
Sekitar 30 menit setelah prosesi, seluruh penerima vaksin masih harus berada di bawah pengawasan petugas kesehatan. Tidak hanya itu, 15 orang penerima vaksin pertama di Yogyakarta, dari berbagai profesi ini akan dipantau selama 14 hari ke depan. Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, Pembajun Setyaningastutie menyebut, mereka akan menjalani penyuntikan kedua, dua pekan lagi.
“Limabelas orang ini akan kami pantau terus sampai penyuntikan kedua,” kata Pembajun.
Vaksinasi Butuh Skrining
Meski diberikan gratis, vaksin bukan layanan kesehatan yang bisa didapatkan setiap orang. Dalam kasus vaksin Sinovac misalnya, faktor umur menjadi persyaratan yang ditetapkan. Selain itu, dalam pratiknya akan lebih baik apabila tenaga kesehatan melakukan skrining sebelum penyuntikan.
Pakar Imunologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Deshinta Putri Mulya, M.Sc., Sp.PD, KAI(K), menyebut skrining diperlukan karena ada kemungkinan penerima memiliki penyakit tertentu. Deshinta adalah Kepala Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Yogyakarta.
Istilah resmi yang dipakai untuk kemungkinan itu adalah Kondisi Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
“Memang pada vaksinasi, harus wawancara dulu, dia ada alergi atau tidak terhadap komponen vaksin. Memang harus dibicarakan dulu. Tetapi kalau pun ada KIPI, pemerintah sudah membuat skema pelaporan. Jangan khawatir, Anda divaksin tetap dilindungi,” papar Deshinta dalam diskusi bersama Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM Yogyakarta.
Mereka yang dipastikan tidak bisa menerima vaksin kali ini adalah yang mengalami kondisi seperti autoimun, ginjal kronis dan wanita hamil. Jika sedang demam dengan suhu 37,5 derajat Celcius atau lebih, vaksinasi ditunda hingga sembuh. Penderita demam juga harus terbukti tidak terinfeksi Covid-19 serta dilakukan skrining ulang pada kunjungan vaksin berikutnya.
Pada orang-orang dengan penyakit TBC, hipertensi, diabetes, HIV dan lainnya dapat diberikan vaksin namun harus dalam kondisi terkontrol. Pasien TBC dalam pengobatan bisa menerima vaksin minimal dua minggu setelah mendapat obat anti tuberkulosis. Pasien DM tipe 2 terkontrol dan HbA1C dibawah 58 mmol/mol atau 7,5 persen dapat diberikan vaksin. Sedangkan pasien dengan HIV, jika angka CD4 < 200 atau tidak diketahui maka vaksinasi tidak dapat diberikan.
Perhatian besar wajib diberikan kepada mereka yang memiliki kondisi alergi dan lebih jauh lagi, asma. Mereka yang alergi penting untuk berkonsultasi kepada dokter untuk mengetahui, apakah komponen vaksin akan memberikan reaksi negatif.
“Kalau ada alergi terhadap komponen tersebut, maka sebaiknya harus berhati hati. Menurut saya, nakes-nakes yang di lapangan harus berhati-hati,” tambah Deshinta.
Uji alergi penting dilakukan, dan vaksin bisa dilakukan setelah dipastikan penerima vaksin akan aman terhadap komponennya. Setiap kasus akan sangat berbeda dan karena itu harus dilihat juga dengan tindakan yang berbeda. Secara umum, mereka yang memiliki alergi apapun sebaiknya menjalani pemeriksaan awal dahulu, sebelum memutuskan menerima vaksin Covid 19.
Namun sejauh ini, kata Deshinta, berdasar jurnal yang ada, dari fase uji klinis 1, 2 dan 3 belum ditemukan reaksi berat. Dalam sedikit kasus terjadi reaksi lokal dan sistemik, berupa nyeri, demam, atau sakit pada sendi. Karena itulah, memang sudah menjadi prosedur agar penerima vaksin tidak langsung meninggalkan fasilitas kesehatan.
Jika ada efek samping, tenaga kesehatan akan membuat laporan dan melakukan investigasi, karena tidak semua reaksi yang muncul, kata Deshinta, berhubungan dengan vaksinasi itu sendiri.
Aturan Hukum Melindungi
Dari sisi hukum, menurut pakar hukum kesehatan dr Gregorius Yoga Panji Asmara SH MH CLA, KIPI memang harus dijelaskan sebelum vaksin. Gregorius merupakan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah.
“Karena dalam melakukan tindakan kedokteran, harus ada penjelasan untuk pasien agar dia memahami secara jelas apa yang dilakukan, tata caranya seperti apa, sampai ke resiko dari dilakukannya tindakan kedokteran tersebut,” kata Gregorius ketika dihubungi VOA.
Penerima vaksin harus paham apa yang sebaiknya dilakukan ketika dia merasakan dampak seperti demam atau yang lebih jauh lagi, berupa alergi. Baik dampak ringan, sedang maupun berat, tindakan untuk mengatasinya menjadi tanggung jawab penyelenggara, yang dalam hal ini adalah pemerintah.
Semua tindakan yang muncul sebagai konsekuensi atas tindakan vaksinasi, menurut dr Gregorius, adalah bagian dari program vaksinasi itu sendiri.
“Tidak bisa saling lepas pertangungjawabannya, dan dokter yang melakukan juga memiliki tanggung jawab, karena itu ketika melakukan dia juga yakin ini benar,” tambahnya.
Contoh paling sederhana yang harus dilakukan tenaga kesehatan pemberi vaksin adalah melakukan pengecekan terhadap vaksin itu sendiri. Apakah menggunakan produk dengan merek yang benar sesuai keputusan pemerintah, apakah benar belum kedaluwarsa, dan bagaimana kondisinya secara umum, apakah rusak atau tidak, misalnya dari sisi warnanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam kasus di luar vaksin, lanjut Gregorius, di Indonesia kasus gugatan pasien terhadap tenaga kesehatan maupun rumah sakit sudah banyak terjadi. Biasanya, pangkal persoalan adalah ketidakpuasan pasien, yang kemudian memakai istilah malpraktik dalam pengaduannya.
“Tetapi konsep malpraktik dari pasien, belum tentu sama dengan dokter, belum tentu juga sama dengan kaidah disiplin kedokteran, ilmu kedokteran, etika kedokteran, maupun hukum kedokteran. Maka yang penting adalah dalam hal pembuktian,” lanjutnya.
Indonesia sendiri sudah menetapkan dasar hukum yang cukup baik untuk persoalan ini. Dokter profesional dalam praktik kedokterannya, kata Gregorius, dilindungi oleh hukum. [ns/ab]