Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan otonomi daerah picu lahirnya praktik korupsi di daerah.
JAKARTA —
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, Kamis (27/6) mengatakan otonomi daerah yang seharusnya menjadi jembatan bagi terwujudnya desentralisasi pembangunan justru mendorong potensi terjadinya korupsi di daerah.
Pasca otonomi daerah, kata Donal, kewenangan dan dana untuk pemerintah daerah ditambah dan hal ini juga menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah.
Menurut catatan ICW, hingga 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati.
Donal menambahkan, pola korupsi yang terjadi di setiap daerah berbeda. Di daerah yang kaya sumber daya alam, korupsi banyak terjadi pada soal perizinan tambang dan alih fungsi lahan, ujarnya.
Sedangkan daerah yang tidak kaya sumber daya alam, menurut Donal, korupsi banyak terkait dengan belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa. Donal menyatakan minimnya kontrol publik juga menyebabkan terjadi korupsi.
“Korupsi di daerah lahir saat kewenangan digeser (dari pusat ke daerah), kemudian juga dana yang cukup banyak. Persoalan itu semakin buruk karena calon kepala daerah jor-joran menghabiskan uang pada saat pemilihan, sementara gaji atau pendapatnya sebagai kepala daerah tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan sewaktu pemilihan kepala daerah. Itu juga faktor pemicu banyak korupsi di lingkungan kepala daerah,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sempat mengakui masih lemahnya kualitas dan kapasitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan ia akan berbuat maksimal untuk menekan angka korupsi sepanjang KPK menemukan dua alat bukti. Menurutnya, KPK sangat serius menuntaskan kasus korupsi termasuk yang berada di daerah.
“Kalau ada alat buktinya kita akan lanjutkan, tidak ada alasan untuk mempetieskan atau menyembunyikan orang-orang yang terlibat yah,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latief mengakui banyaknya elit politik cenderung memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya dibanding untuk kebaikan masyarakat.
Menurut Yudi, sejak reformasi bergulir, demokrasi di Indonesia memang masih carut marut. Bagi rakyat kecil, kata Yudi, demokrasi bukan hanya sekedar mengganti seorang pemimpin tetapi bagaimana kehidupan mereka bisa lebih baik.
“Demokrasi setelah 14 tahun itu tidak kunjung membawa perubahan dalam dunia kehidupan rakyat karena perubahan dari orde baru ke reformasi tidak melakukan transformasi dalam watak kekuasaan,” ujarnya.
“Dari dulu yang namanya watak kekuasaan itu selalu negara melayani dirinya sendiri. Bedanya kalau dulu oligarkinya dijalankan oleh militer, transformasi ke dalam orde reformasi wataknya tetap tidak ada perubahan transformatif dalam watak kekuasaan. Sekarang oligarkinya berbasis pemodal dan dinasti.”
Pasca otonomi daerah, kata Donal, kewenangan dan dana untuk pemerintah daerah ditambah dan hal ini juga menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah.
Menurut catatan ICW, hingga 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati.
Donal menambahkan, pola korupsi yang terjadi di setiap daerah berbeda. Di daerah yang kaya sumber daya alam, korupsi banyak terjadi pada soal perizinan tambang dan alih fungsi lahan, ujarnya.
Sedangkan daerah yang tidak kaya sumber daya alam, menurut Donal, korupsi banyak terkait dengan belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa. Donal menyatakan minimnya kontrol publik juga menyebabkan terjadi korupsi.
“Korupsi di daerah lahir saat kewenangan digeser (dari pusat ke daerah), kemudian juga dana yang cukup banyak. Persoalan itu semakin buruk karena calon kepala daerah jor-joran menghabiskan uang pada saat pemilihan, sementara gaji atau pendapatnya sebagai kepala daerah tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan sewaktu pemilihan kepala daerah. Itu juga faktor pemicu banyak korupsi di lingkungan kepala daerah,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sempat mengakui masih lemahnya kualitas dan kapasitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan ia akan berbuat maksimal untuk menekan angka korupsi sepanjang KPK menemukan dua alat bukti. Menurutnya, KPK sangat serius menuntaskan kasus korupsi termasuk yang berada di daerah.
“Kalau ada alat buktinya kita akan lanjutkan, tidak ada alasan untuk mempetieskan atau menyembunyikan orang-orang yang terlibat yah,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latief mengakui banyaknya elit politik cenderung memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya dibanding untuk kebaikan masyarakat.
Menurut Yudi, sejak reformasi bergulir, demokrasi di Indonesia memang masih carut marut. Bagi rakyat kecil, kata Yudi, demokrasi bukan hanya sekedar mengganti seorang pemimpin tetapi bagaimana kehidupan mereka bisa lebih baik.
“Demokrasi setelah 14 tahun itu tidak kunjung membawa perubahan dalam dunia kehidupan rakyat karena perubahan dari orde baru ke reformasi tidak melakukan transformasi dalam watak kekuasaan,” ujarnya.
“Dari dulu yang namanya watak kekuasaan itu selalu negara melayani dirinya sendiri. Bedanya kalau dulu oligarkinya dijalankan oleh militer, transformasi ke dalam orde reformasi wataknya tetap tidak ada perubahan transformatif dalam watak kekuasaan. Sekarang oligarkinya berbasis pemodal dan dinasti.”