Indonesia Gelar Karpet Merah untuk Investor, Janjikan Reformasi

Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Istana Merdeka, Jakarta (3/11). (VOA/Ahadian Utama)

Presiden Jokowi dan para menteri mengindikasikan prioritas dalam menyelesaikan masalah-masalah pembebasan lahan, yang telah lama menjadi kendala dalam perbaikan infrastruktur.

Pemerintah Indonesia meluncurkan penawaran untuk meyakinkan para investor asing yang skeptis untuk mengucurkan miliaran dolar untuk memperbaiki infrastruktur buruk di negara ini, dengan menjanjikan pengurangan korupsi dan birokrasi.

Korupsi yang mengakar, birokrasi yang membebani dan aturan-aturan yang membingungkan telah membuat investor menjauh, di saat infrastruktur yang buruk menjadi kendala besar pertumbuhan ekonomi yang telah melambat akhir-akhir ini.

Pernyataan-pernyataan dari Presiden Joko Widodo dan para menteri mengindikasikan prioritas dalam menyelesaikan masalah-masalah pembebasan lahan, yang telah lama menjadi kendala dalam perbaikan infrastruktur.

"Banyak investor, ketika datang kepada saya, mereka selalu mengeluhkan pembebasan lahan," ujar Presiden Jokowi Senin (10/11) kepada para pemimpin perusahaan di Beijing, dalam KTT Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).

"Saya akan dorong para menteri, gubernur dan walikota untuk membantu menyelesaikan masalah ini," ujarnya.

Dalam kunjungan luar negeri pertamanya itu, Presiden mengundang para CEO tersebut untuk berinvestasi untuk pelabuhan, pembangkit listrik, jalan dan jalur kereta api di Indonesia.

"Saya dulu seorang pengusaha. Saya sangat senang karena kita dapat berbicara mengenai bisnis dan investasi dengan Anda Semua," ujarnya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago, mengatakan bahwa dalam rencana infrastruktur lima tahun, pemerintah ingin membantun banyak pelabuhan, 25 bendungan, 10 bandar udara, 10 taman industri dan 2.000 kilometer jalan.

Indonesia memerlukan sedikitnya Rp 6 ribu triliun untuk investasi infrastruktur dalam lebih dari lima tahun, menurut Bastary Pandji Indra, direktur kemitraan publik dan swasta di Bappenas.

Proyek besar pemerintahan Jokowi adalah pembangunan 24 pelabuhan pengumpan (feeder) kecil dan lima pelabuhan laut dalam. Lebih dari setengahnya dari biaya yang diperkirakan mencapai US$5,75 miliar tersebut seharusnya datang dari perusahaan-perusahaan swasta, menurut Menteri Koordinator bidang Maritim Indroyono Soesilo.

Namun perusahaan-perusahaan ingin melihat reformasi besar sebelum berinvestasi.

Pelabuhan adalah "investasi sangat besar sehingga perlu keterbukaan mengenai rancangannya dan juga semua proses tender harus lebih transparan dan sederhana," ujar Jakob Sorensen, kepala eksekutif kantor perusahaan perkapalan AP Moeller Maersk A/S di Indonesia.

Pembangunan pelabuhan dapat dihambat oleh masalah-masalah status lahan yang telah menjadi menghalangi konstruksi pembangkit listrik.

Pada Juli, sebuah usaha gabungan antara Itochu Corp dan Electric Power Development Co Ltd dari Jepang, serta Adaro Energy Tbk dari Indonesia mengumumkan force majeure dalam proyek senilai $4 miliar di Jawa Tengah akibat masalah pembebasan lahan.

Penyelesaian Masalah

Minggu lalu, Presiden Jokowi menawarkan peluang-peluang infrastruktur ekpada sekelompok investor kelembagaan global yang mengelola dana gabungan $8 triliun.

Presentasinya memasukkan foto diri Presiden duduk bersama para warga yang telah lama menolak menjual tanah mereka, sehingga menghambat penyelesaian proyek jalan di Jakarta. Presiden Jokowi, yang saat itu masih menjadi gubernur, bisa membuat para warga menjual tanahnya, dan proyek tersebut kemudian diselesaikan.

"Itu jenis hasil konkret yang sangat dihargai para investor. Ia datang ke lapangan sendiri untuk membantu membereskan situasi," ujar Tom Lembong, kepala eksekutif Quvat Management, perusahaan ekuitas Singapura yang berinvestasi di Indonesia.

"Jokowi merupakan magnet besar untuk investor," ujar Tom. "Ia berbicara bahasa bisnis."

Pemerintahan Presiden Jokowi bertujuan menciptakan "satu pintu" untuk memangkas waktu yang diperlukan untuk mendapatkan izin investasi menjadi 15 hari, bukannya proses berlapis-lapis yang memerlukan waktu sampai tiga tahun, ujar Andrinof. Insentif-insentif pajak juga sedang dipertimbangkan untuk diberikan pada sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan.

Jika Indonesia tidak menarik cukup banyak investasi swasta, pemerintah dapat mempertimbangkan sumber lain dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) berbasis di China yang baru dibentuk dan bernilai $50 miliar, menurut Indroyono.

Indonesia belum memutuskan apakah akan bergabung dengan AIIB, yang dianggap sebagai saingan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. (Reuters)