Indonesia Selidiki Industri Perikanan setelah Kasus Budak Nelayan di Aru

  • Ron Corben

Para nelayan dari Burman menanti keberangkatan kapal yang akan membawa mereka meninggalkan Pusaka Benjina di Kepulauan Aru, 3 April 2015.

Pihak berwenang di Indonesia menggiatkan penyelidikan terhadap industri perikanan setelah ditemukan setidaknya 550 budak nelayan di Pulau Aru. Organisasi Migrasi Internasional bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan kedubes-kedubes untuk mendukung upaya hukum terhadap perusahaan-perusahaan nelayan yang dianggap bertanggung jawab atas berbagai tuduhan.

Desa di pulau Benjina di Lautan Arafura menjadi fokus penyelidikan oleh kantor berita Associated Press, yang melaporkan ratusan pria, kebanyakan di antaranya berasal dari Myanmar, terperangkap di pulau itu.

Pada laporan-laporan yang keluar Jumat, sebuah misi pencari fakta yang melibatkan IOM menemukan jumlah nelayan yang diperbudak mencapai hampir 550.

Wakil kepala IOM di Jakarta, Steve Hamilton, mengatakan walaupun 210 nelayan Burma ingin meninggalkan pulau tersebut, ada pula yang menolak untuk pergi. Mereka yang menolak pergi takut mereka tidak akan mendapat upah atas pekerjaan bertahun-tahun yang belum dibayarkan kepada mereka. Hamilton mengatakan langkah-langkah hukum sedang diupayakan untuk membantu para nelayan tersebut, banyak di antaranya juga berasal dari Kamboja.

"Kami akan menindaklanjuti dengan kedubes-kedubes dan para korban untuk mencoba mendapatkan penggantian rugi dan kompensasi. Saya rasa ini cara lain untuk meyakinkan mereka yang takut untuk pergi karena mereka takut akan kehilangan upah bertahun-tahun jika mereka meninggalkan tempat itu, bahwa setidaknya mereka melihat seseorang memperjuangkan kepentingan mereka," kata Hamilton.

Hamilton mengatakan pemerintah Indonesian akan menyelidiki industri perikanan di seluruh penjuru nusantara.

Pada hari Kamis, lebih dari 60 nelayan Thailand pulang ke Bangkok dengan menumpang pesawat C-130 AU Thailand setelah diselamatkan dari pulau Ambon di mana mereka bersembunyi ataupun ditahan oleh aparat sebagai imigran ilegal.

Warga Thailand termuda yang diselamatkan, mulai dipekerjakan sejak ia berusia 13 tahun, dan selama enam tahun terakhir harus bekerja sepanjang hari dalam kondisi yang mengenaskan, seringkali tanpa waktu untuk tidur ataupun beristirahat.

Penyelidikan Thailand

Laporan kantor berita AP yang dirilis bulan Maret memicu berbagai penyelidikan di wilayah ini, termasuk di Thailand, dan pasaran-pasaran pemasok ekspor makanan laut utama termasuk bagi Amerika Serikat dan Eropa.

Media Thailand telah mempertanyakan selama bertahun-tahun penggunaan buruh migran dalam industri perikanan pada umumnya.

Para nelayan yang diselamatkan mengatakan mereka dirayu untuk bergabung, namun ada pula yang diculik untuk bekerja sebagai nelayan, seringkali harus menghadapi kekerasan dan ancaman dari para awak kapal senior.

Juru bicara Migrant Working Group yang berbasis di Thailand, Roisa Wongsuban, mengatakan wilayah ini perlu menggiatkan kerjasama dalam mengatasi perdagangan manusia dalam industri perikanan. "Penting adanya dialog regional, tidak hanya respon dialog terhadap masalah ini. Ini apa yang kami amati dan kami tidak melihat praktek ini berubah banyak pada cara mereka menyelamatkan mereka yang diperdagangkan, diselundupkan. Mereka menggunakan Thailand sebagai pusat rekrutmen dan membuat dokumen-dokumen palsu," katanya.

Analis mengatakan pemerintah Indonesia sudah menyadari isu penggunaan buruh ilegal dalam industri perikanan. Tapi berbagai laporan media terbaru, kata mereka, menjadi penggerak bagi penyelidikan-penyelidikan baru, di tengah-tengah seruan akan kerjasama regional untuk menghentikan praktek-praktek perburuhan yang ilegal ini.