Indonesia Tak Khawatirkan Konferensi Pengacara Internasional untuk Papua Barat

  • Wella Sherlita

Pendukung OPM melakukan upacara bendera di Panjai, Papua tahun 2008 lalu. Menko Polhukam mengatakan Indonesia tidak perlu khawatir soal konferensi bagi Papua yang diadakan di Oxford baru-baru ini. (foto:file)

Pemerintah Indonesia menanggapi dengan dingin penyelenggaraan Konferensi Internasional Lawyer for West Papua (ILWP) di Universitas Oxford, London pada Selasa. Konferensi ini menuntut kemerdekaan bagi Papua Barat.

Menko Polhukam, Djoko Suyanto, menegaskan konferensi internasional yang digelar di Universitas Oxford, Inggris, tidak berarti melemahkan posisi Indonesia, sebab Papua jelas adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini artinya, semua pihak harus sepakat pada tindakan dan keputusan yang sudah ditetapkan pemerintah Indonesia untuk Papua, baik di bidang politik dan dan ekonomi.

Hal ini diungkapkan Djoko Suyanto, usai rapat terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan, di Kantor Presiden, Selasa.

Ia mengatakan, “Kalau yang demo dan konferensi di Inggris ya enggak apa-apa, yang penting kita semua sepakat bahwa Papua itu bagian dari NKRI, dan itu yang harus kita pertahankan. Enggak, saya tidak melihat itu sebagai campur tangan. Posisi kita semua ‘kan harus sependapat, semua kalangan termasuk wartawan. Sejak Kabinet Indonesia Bersatu (dibentuk), pendekatan di Papua itu lebih mengedepankan peningkatan perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat.”

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa juga mengakui konferensi internasional itu tidak perlu ditanggapi secara khusus. Alasannya, pemerintah selama ini tetap berkomunikasi mengenai kebijakan terhadap Papua, kepada negara-negara sahabat, termasuk Inggris. Isu Papua juga ikut dibicarakan dalam pertemuan bilateral antara Marty Natalegawa dengan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, di Bali, baru-baru ini.

Sementara itu, persis di depan Istana Negara, puluhan aktivis pro Papua Merdeka mengadakan aksi menuntut jajak pendapat untuk penentuan nasibnya sendiri. Koordinator aksi, Octovianus Pugau menyatakan dukungannya atas konferensi internasional tersebut.

“Terlalu banyak peristiwa pelanggaran HAM, pembangunan yang tidak konsisten. Otonomi khusus yang dianggap solusi final sudah berulangkali dikembalikan ke pemerintah pusat, dan kami pikir tidak ada jalan lain selain referendum, membiarkan orang Papua menyatakan kebebasan dan sikap mereka,” ujar Pugau.

Akhir pekan lalu kerusuhan terkait pendaftaran Pemilukada terjadi di wilayah Puncak Jaya, Papua. Akibatnya, 17 orang tewas. Menyusul kemudian, empat warga tewas di Desa Nafri, Jayapura, pada Senin dinihari. Pemerintah menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada di balik semua kekerasan berdarah, yang terjadi sebulan setelah diadakannya Konferensi Damai di Papua.

Kepala OPM untuk wilayah Keerom dan sekitarnya, Lambert Pekikir, pada hari Minggu mengatakan TNI jelas telah mengetahui dalang kerusuhan, namun tetap menuding sebagai pelakunya.

Saat ditanyakan, Djoko Suyanto menegaskan pemerintah hanya ingin menindak pihak-pihak yang melanggar hukum. Sejauh ini, Presiden Yudhoyono sendiri belum memberikan tanggapan atas kerusuhan berdarah di Puncak Jaya.

Djoko Suyanto mengatakan, “Saya tidak bicara soal OPM. Tetapi sekarang kalau ada orang yang menembak, melukai TNI dan membunuh pihak Kepolisian, dan menyerang perusahaan-perusahaan dan pegawai di sana, itu berarti ada orang-orang atau kelompok yang melakukan itu, dan harus ditindak. Kalau mereka tidak melakukan ‘kan tidak terjadi apa-apa.”

Kepada VOA, Djoko Suyanto, mengatakan sejak lama pemerintah pusat selalu mengutamakan pendekatan kesejahteraan, dibandingkan keamanan. Ia menjelaskan, dana pemerintah pusat untuk otonomi khusus di Papua mencapai Rp. 7 Trilyun per tahun anggaran. Maka, pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat ia katakan harus bertanggung jawab atas penggunaan dana ini, khususnya pada pelaksanaan pengembangan ekonomi.