Sektor perkebunan di Indonesia, baik sawit, kakao, karet hingga teh dan kopi, sering dianggap turut berperan merusak lingkungan. Jumlah total lahan untuk seluruh komoditas itu lebih dari 20 juta hektare, dengan 16 juta hektare di antaranya adalah kebun kelapa sawit.
Namun, dalam Environmental Performance Index (EPI) atau Indeks Kinerja Lingkungan 2020, Indonesia hanya berada di posisi 116. Sementara, negara-negara yang mampu menjaga lingkungannya dengan baik, seperti Denmark, Luksemburg, Swiss, Perancis dan Austria ada di posisi atas. Menurut Prof Agus Pakpahan, Peneliti Utama di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, kondisi ini membuktikan hubungan pendapatan tinggi dan lingkungan yang terjaga.
“Ternyata, pendapatan per kapita yang tinggi itu komplemen atau berpasangan dengan kualitas lingkungan hidup yang baik,” kata Agus, ketika berbicara dalam seminar Membangun Perkebunan Berkelanjutan, di Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) Yogyakarta, Selasa (7/12).
EPI adalah metode penilaian kinerja kebijakan lingkungan suatu negara, yang dikembangkan para peneliti di Universitas Yale dan Universitas Columbia di Amerika Serikat. EPI sudah diperkenalkan sejak 2002 dan setiap dua tahun mengeluarkan daftar negara-negara menurut kinerja lingkungan mereka.
Satu-satunya negara Asia yang masuk dalam 20 besar EPI, kata Agus, adalah Jepang. Melihat performa ekonominya, muncul keyakinan kemakmuran bisa dicapai tanpa harus merusak alam.
“Jadi kalau kita mau mendapatkan lingkungan yang baik, yang sustainable, perdapatan perkapita kita pun harus tinggi. Ini kuncinya. Tidak bisa kita berargumen, mencapai pendapatan perkapita yang tinggi dengan merusak lingkungan. Dua-duanya harus positif,” tambah Agus.
Indonesia harus belajar dari Korea Selatan. Menurut perhitungan, GDP per hektare Indonesia hanya sekitar $5.000, sementara Korea Selatan mencapai $166.000. Dengan kata lain, nilai ekonomi satu hektare lahan di Korea Selatan, lebih 30 kali lipatnya dari lahan di Indonesia.
“Korea (Selatan) pasti setiap jengkal tanahnya itu menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Tanpa banyak merusak lingkungan,” ujarnya lagi.
Sebagai gambaran, GDP per hektare Amerika Serikat adalah $22.000, sedangkan Jepang $132.000.
Maknanya, lanjut Agus, memboroskan sumber daya lahan tidak berarti bisa memakmurkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, bahkan yang terjadi bisa sebaliknya.
Perkebunan Menjadi Sorotan
Sektor perkebunan menjadi topik penting dalam perbincangan terkait ekpansi lahan yang boros, dan nilai ekonomi yang diperoleh. Komoditas seperti sawit, kakao, kopi, dan karet, terbukti membutuhkan luas lahan besar, yang dalam sejumlah kasus merusak kawasan hutan.
Isu keberlanjutan menjadi penting, khususnya bagi Uni Eropa. TIdak mengherankan, jika kawasan ini kemudian menerapkan standar lingkungan, untuk produk yang dikirim kepada mereka. Anang Noegroho Setyo Moeljono, Direktur Pertanian dan Pangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengupas isu ini dalam diskusi tersebut.
“Uni Eropa yang memiliki kebijakan green deal, meminta kepada semua eksportir dan produk-poduk yang masuk ke dalamnya adalah produk bebas deforestasi, dan proposalnya sudah dibahas di Parlemen Uni Eropa pada 17 November 2021,” ujar Anang.
BACA JUGA: Indonesia Minta Uni Eropa Perlakukan Isu Minyak Sawit Secara AdilUni Eropa, lanjut Anang, adalah pasar yang luar biasa, karena itu tidak ada jalan lain bagi sektor perkebunan Indonesia selain memperkuat kompetensi dalam isu ini. Setidaknya saat ini, telah ada kebijakan untuk mewujudkan Uni Eropa sebagai kawasan iklim netral pada 2050. Arah kebijakannya misalnya pertanian presisi, organik, agroekologi, agroforestri, kesejahteran satwa dan emisi.
Tentu saja, pemerintah tidak tinggal diam. Paling tidak sudah disusun arah kebijakan pangan dan pertanian berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Bagaimana perkebunan ini harus memiliki indikator nilai tambah, memampukan tenaga kerja, meningkatkan investasi dan industrialisasi,” kata Anang.
Pokok programnya adalah hilirisasi, yudiriksi berkelanjutan, praktik budidaya berkelanjutan, agroforestry, sertifikasi dan traceable atau keterlacakan.
“Arah pengembangan perkebunan berkelanjutan, pertama produktivitas yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem, tidak sekedar produktivitas. Kedua, semakin transparan semua kegiatan yang terkait dengan perkebunan,” tambahnya.
Pembenahan Sisi Kebijakan
Dr Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, mengakui peran besar sektor perkebunan belum diimbangi dengan semangat keberlanjutan.
Sektor ini menyumbang Rp359,5 triliun setahun dan menghidupi 18 juta pekebun. Secara rinci, kepala sawit adalah penyumbang terbesar sekaligus memakan lahan terbesar, mencapai 16 juta hektare, diikuti karet 3,6 juta hektare, kelapa 3 juta hektare, dan kopi 1,3 juta hektare.
“Distribusi komoditas ini mengokupansi lahan yang sangat luas, tetapi sayangnya upaya untuk menjaga keberlanjutannya, memang masih sangat rendah,” kata Musdhalifah.
BACA JUGA: Greenpeace: 3,12 Juta Hektare Sawit Berada Dalam Kawasan HutanUpaya tentu dilakukan. Di komoritas kelapa sawit misalnya, pemerintah menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Ini adalah instrumen dari pemerintah, agar 48 juta ton kelapa sawit terjamin pemasarannya.
“ISPO adalah salah satu alat standar global, bahwa kita melakukan perbaikan terhadap perkebunan kita, dengan menjamin aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan lain-lain,” tambahnya.
Untuk komoditas kakao, pemerintah menekankan perlunya agroforestry. Sedangkan karet dikelola melalui Sustainable Natural Rubber Platform of Indonesia (SNARPI), dan kopi melalui Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI). Instrumen ini memperbaiki kondisi bagi petani, tata niaga, manajemen sumber daya alam, lingkungan, hak masyarakat adat, kolaborasi dan kemitraan.
Sementara Kementerian Pertanian menetapkan lima strategi untuk mengatasi kondisi ini, seperti dipaparkan Kasdi Subagyono, Sekjen kementerian ini.
“Peningkatan kapasitas produksi, berkait pengembangan lahan-lahan yang belum optimal digunakan. Utamanya di luar Jawa, untuk mengantisipasi derasnya alih fungsi lahan di Jawa,” kata Kasdi.
Selain itu, strategi lain yang diterapkan adalah ekstensifikasi areal tanam, penguatan cadangan dan sistem logistik, modernisasi pertanian, dan melipatgandakan ekspor.
Your browser doesn’t support HTML5
Di sektor kepala sawit misalnya, saat ini produksi per hektare adalah 3,6 ton setara CPO. Padahal, Indonesia memiliki varietas sawit yang mampu memproduksi 6-8 ton setara CPO per hektare. Karena itulah, petani akan didorong untuk menggunakan varietas baru ini ketika penanaman kembali pohon sawit yang tua.
Pemberdayaan Petani Jadi Kunci
Upaya perbaikan tidak hanya sebatas program, tetapi juga menyentuh para petani sawit. Misalnya, seperti yang dilakukan Dr Purwadi, Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit yang juga dosen INSTIPER Yogyakarta.
“INSTIPER telah membangun, bekerja sama dengan pihak ketiga, kita bangun sebuah platform model pendidikan baru bagi petani,” kata Purwadi.
Purwadi membangun sebuah platform belajar bagi petani sawit secara digital melalui Sawitkita Learning. Kenyataan bahwa jumlah penyuluh pertanian dan infrastruktur yang terbatas, mendorong upaya ini.
“Saya percaya, dalam dua atu tiga tahun ke depan, model pembelajaran online seperti ini bagi petani akan menjadi mainstreaming, dalam upaya pembelajaran petani secara masif. Platform ini sangat komprehensif dan pada saatnya, semua ada di tangan petani,” ujar Purwadi.
Semua pihak harus meyakini bahwa perkebunan adalah sektor berbasis sumber daya alam, yang diperdagangkan secara global. Mau tidak mau, pengelolaannya harus mengikuti geopolitik ekonomi komoditas secara global.
Secara teknis, kata Purwadi, keberlanjutan bergantung pada daya saing. Pada komoditas perkebunan, daya saing sistem industri ini ada di sepanjang rantai pasok. Efisiensi sistem industri melalui pembagian nilai berkeadilan, kemitraan strategis, dan sinergi dengan pemanfaatan teknologi menjadi penting.
“Entry point pembangunan perkebunan rakyat adalah pengembangan kelembagaan petani yang didukung sistem informasi manajemen clear and clean, melalui pengembangan platform sistem berbasis teknologi digital,” kata Purwadi. [ns/ab]