Untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia Kedua berakhir, tidak satupun dari kedua partai terbesar yang berhaluan tengah, merebut jabatan kepala negara. Sebaliknya, calon Partai Kebebasan Norbert Hofer, calon berhaluan kanan jauh, mungkin akan memenangkan jabatan itu dalam persaingan yang hampir berimbang.
Rakyat Austria pergi ke TPS hari Minggu untuk memberi suara dalam pemilihan babak kedua yang mempersaingkan Hofer dan professor ekonomi yang diusung oleh Partai Hijau, Alexander Van der Bellen setelah Hofer secara di luar dugaan memenangkan pemilihan babak pertama dengan 35 persen suara.
Hasil tersebut menandakan pergeseran besar dalam politik Austria dalam pemilihan yang telah didominasi masalah krisis migran yang sedang berlangsung di Eropa. Hofer telah berkampanye sebagai calon yang secara terbuka anti-imigran, dan anti-Uni Eropa yang dibakar dengan pidato-pidato populisnya, sementara Van der Bellen telah mengatakan kepresidenan Hofer dapat mengancam demokrasi di Austria.
“Sebagaimana Anda ketahui, saya berusia 72 tahun dan saya telah mengalami Austria bangkit dari reruntuhan Perang Dunia Kedua, yang diakibatkan oleh kegilaan nasionalisme,” kata Van der Bellen.
Tahun lalu, Austria menerima 90 ribu orang pencari suaka, sama dengan kira-kira satu persen dari penduduknya, mengikuti tindakan Jerman, yang membuka perbatasannya kepada lebih dari satu juta orang migran, terutama orang yang mengungsi dari perang saudara Suriah.
Austria sejak itu telah memperlambat penerimaan migrannya yang memperkuat dukungan pada calon kanan jauh tadi di kalangan pemilih yang sudah kecewa dengan kedua partai utama, Partai Sosial Demokrat dan Partai Rakyat yang berhaluan tengah.
Jajak pendapat menunjukkan Hofer unggul sedikit atas Van der Bellen, walaupun Hofer tampaknya merasa lebih pasti akan kemenangannya daripada yang ditunjukkan oleh jajak pendapat. [gp]