Menjelang akhir 2021, sejumlah janji terucap bagi Papua. Presiden menjanjikan pengusutan kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Paniai. Mengkopulhukam mengemukakan tentang upaya pendekatan kesejahteraan. Sedangkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menjanjikan dialog lebih intensif.
Namun, semua itu tidak bermakna bagi aktivis kemerdekaan Papua, Filep Karma.
“Itu semua orang Papua rasakan sebagai angin surga yang kami dengar, tetapi kenyataan yang kami rasakan panasnya neraka,” ujarnya kepada VOA.
Mantan tahanan politik ini kemudian memaparkan sejarah panjang janji-janji pemerintah di Jakarta itu untuk Papua. Di era Soekarno, kata Karma, sejak peristiwa Trikora hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), telah digembar-gemborkan janji untuk mensejahterakan rakyat Papua.
Soeharto pun tidak mau ketinggalan, dengan berbagai janji pembangunan. Berlanjut hingga era reformasi, di mana setiap presiden memberi janji manis bagi Papua. Termasuk status Otonomi Khusus yang saat ini dinikmati Papua, merupakan bagian dari janji pembangunan itu.
Namun hingga saat ini Papua tetap menjadi daerah miskin dan penuh gejolak.
Cara Pandang Pengaruhi Kebijakan
Semua ini, lanjut Karma, tidak lepas dari cara pandang pemerintah Indonesia dalam menangani Papua yang diskriminatif. Pemerintah pusat juga cenderung membiarkan orang Papua menjadi korban rasisme. Karma mengingatkan peristiwa rasisme di Yogyakarta pada 2016 terhadap mahasiswa Papua yang terus berlanjut sampai saat ini.
“Asrama Papua di Yogya dikepung, dan satu mahasiswa diinjak kepalanya, dimasukkan jari-jari di hidungnya, lalu ditarik. Sejak itu tidak ada pernyataan maaf secara resmi dari Presiden atau pejabat yang lain,” ujar Karma yang turut menghadiri persidangan mahasiswa itu di Yogyakarta, Agustus 2016.
“Terakhir ini, kami distempel dengan teroris. Tidak ada permintaan maaf, bahwa itu salah. Dari sini saya menilai, bahwa kami orang Papua tidak punya harga dan nilai di dalam republik ini,” tambahnya.
BACA JUGA: Jokowi: Mari Kita Jaga Tanah Papua Agar Selalu DamaiFilep Karma ingat, pada perayaan Natal di Papua, 26 Desember 2014, Jokowi sudah berjanji mengusut tuntas kasus Paniai berdarah. Setidaknya lima pelajar tewas dan sekitar 17 terluka dalam peristiwa ini. Janji Jokowi ini sampai saat ini belum tuntas, dan baru pada September 2021 ada tim di Kejaksaan Agung untuk menanganinya.
Karma juga mengingatkan, Jokowi pernah berjanji membuka Papua bagi media asing dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), tetapi sampai saat ini tidak terwujud.
“Kami bukan baru mengalami satu dua tahun, ini sudah enam puluh tahun,” ujar Karma terkait janji-janji pemerintah pusat kepada Papua.
Pria bernama lengkap Filep Jacob Semuel Karma ini dipenjara karena turut mengibarkan bendera Bintang Kejora pada Desember 2004. Dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara tetapi hanya menjalani 11 tahun karena dibebaskan pada 9 November 2015.
Janji-Janji di Akhir Tahun
Sepanjang Desember 2021, sejumlah janji bagi Papua memang terucap dari berbagai pihak di pemerintahan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD misalnya, yang mengatakan pemerintah terus melakukan dialog dalam mengatasi permasalahan di Papua melalui pendekatan kesejahteraan.
Bahkan dasar hukumnya telah tersedia, terkait kebijakan itu, yaitu INPRES No.9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
“Pendekatan yang akan dipergunakan itu adalah pendekatan kesejahteraan, di mana sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah, baik itu aparat, personal, maupun keuangan, akan difokuskan dalam upaya membangun kesejahteraan dalam suatu kerja yang kolaboratif, komprehensif, sesuai dengan Inpres,” kata Mahfud usai menerima sejumlah petinggi militter, mulai KSAD, Pangdam XVII/Cenderawasih dan Pangdam XVIII/Kasuari di kantornya, Selasa (7/12).
Dalam peringatan Hari HAM sedunia di Istana Negara, Jakarta 10 Desember 2021, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen pemerintah menegakkan, menuntaskan, dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Langkah itu dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku pelanggaran HAM berat.
BACA JUGA: Mahfud MD: Kejagung Telah Bentuk Tim Kasus Pelanggaran HAM Paniai Papua“Pemerintah melalui Jaksa Agung telah mengambil langkah untuk melakukan penyidikan umum terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Salah satunya tadi sudah disampaikan oleh Bapak Ketua Komnas HAM adalah kasus Paniai di Papua tahun 2014,” kata Jokowi.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin tak kalah berkomitmen kepada Papua. Dia menekankan perlunya penguatan kebijakan afirmasi pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Papua.
“Landasan hukum sudah ada, cukup kuat, tinggal kita melaksanakan kebijakan afirmasi pembangunan di lapangan yang harus diperkuat,” kata Ma’ruf Amin, Rabu (15/12).
Pemerintah juga membentuk Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua (BP3OP), di mana Ma’ruf Amin akan berperan besar di dalamnya.
Janji yang sama juga terucap dari Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa. Dia bahkan sudah memaparkan visi perubahan pendekatan itu, sejak uji kepatutan dan kelayakan yang diselenggarakan DPR. Dalam pertemuan dengan sejumlah akademisi dan tokoh Papua akhir tahun lalu, Andika jelas menyampaikan isyarat damai itu.
"Saya punya keinginan damai dan itu harus karena kita ini manusia,” kata Andika dalam rekaman resmi yang dipublikasikan 29 Desember 2021.
Banyak Harapan di 2022
Pengacara pembela HAM dari Papua, Yohanis Mambrasar, menyambut baik janji-janji perubahan pendekatan itu. Namun, katanya, realisasi tetap jauh lebih penting. Dia merekomendasikan langkah pertama yang bisa dilakukan TNI adalah dengan mengurangi aktivitas militer, terutama pembukaan pos-pos keamanan dan kantor Komando Distrik Militer (Kodim).
“Kita melihat pembangunan Kodim atau infrastruktur militer itu akan mendatangkan konflik yang merugikan kita. Bukti konkretnya di Tambraw dan Maybrat. Wilayah ini dulu sebelum ada Kodim, belum ada kekerasan militer terhadap sipil. Tetapi setelah dibangun, jadi konfliknya,” ujar Yohanis.
Beberapa tahun lalu, tambahnya, gerakan bersenjata hanya berpusat di sejumlah wilayah pedalaman. Namun kini muncul Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dan aksi kekerasan bersenjata muncul di sejumlah wilayah.
Yohanis mengaku kaget dengan perkembangan semacam ini, yang mengindikasikan bahwa di mana militer menunjukkan kekuatan, maka aksi kelompok bersenjata justru akan muncul.
Di sisi lain, Satgas Nemangkawi yang sudah diperpanjang masa tugasnya hingga 25 Januari 2022, sebaiknya juga dipikirkan ulang. Satgas semacam ini, ujar Yohanis, menjadi penyebab sejumlah aksi kekerasan sejak dibentuk beberapa tahun lalu.
Your browser doesn’t support HTML5
“Penembakan terhadap masyarakat sipil tinggi sekali. Kita tahu, penembakan di Intan Jaya dalam beberapa bulan terakhir, anak-anak jadi korban, perempuan jadi korban, itu Tim Nemangkawi,” lanjut Yohanis.
Dia bahkan optimis, jika Satgas semacam ini ditarik, konflik akan menurun di Papua.
Secara umum, kondisi sosial di Papua diperkirakan akan relatif aman ke depan. Konflik kekerasan, kata Yohanis, berpusat pada kelompok Organisasi Papua Merdeka dan TNI/Polri. Masyarakat umum, sebenarnya berada di luar lingkaran konflik itu.
Tahun 2022 kemungkinan juga akan lebih sejuk di Papua, karena pertentangan horizontal antar warga berkurang. Sepanjang 2019-2021, pertarungan pendapat di kalangan warga cukup panas, terkait kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Di samping itu, pemerintah daerah dan pusat juga sering berbeda pendapat, yang memperkeruh suasana. Tahun ini, karena Otsus sudah ditetapkan, silang pendapat bisa dipastikan berkurang.
“Tetapi, tahun 2022 isu keamanan akan tetap dominan, dan Panglima TNI harus lebih banyak mengambil peran lebih konkret, atau melaksanakan gagasan-gagasan perdamaian di Papua itu seperti apa yang dia sampaikan. Dia punya peran penting,” tambah Yohanis.
Di luar soal realisasi janji-janji pemerintah pusat, Yohanis juga melihat sejumlah persoalan masih menghadang tahun ini. Perampasan wilayah adat, pertarungan investasi dengan masyarakat adat adalah dua yang dominan. Namun, sebagaimana kasus-kasus sejenis seperti di Maybrat dan Puncak, kata Yohanis, militer akan terkait di dalamnya. [ns/ab]