Jumat, 5 Februari 2016 merupakan batas waktu yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kepada anggota Ahmadiyah. Mereka diwajibkan meninggalkan wilayah itu, jika tidak mau bertobat.
Apa yang ditakutkan oleh anggota Ahmadiyah di Kabupaten Bangka akhirnya terjadi. Hari Jumat sore (5/2), aparat keamanan setempat memindahkan sekitar 20 orang anggota Ahmadiyah dari rumah mereka sendiri. Dasar pemindahan ini, menurut Yendra Budiana selaku juru bicara Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, adalah faktor keamanan.
Setidaknya dalam dua minggu terakhir, masyarakat di sekitar wilayah Sri Menganti, Kabupaten Bangka, melakukan intimidasi kepada anggota Ahmadiyah setempat. Salah satu penyebabnya adalah karena Bupati Bangka, Tarmizi Saat, mengeluarkan surat keputusan yang memberikan dua pilihan bagi anggota Ahmadiyah.
Kedua pilihan itu adalah bertobat dan menjalankan agama Islam sesuai cara umat Islam mayoritas, atau dipersilahkan pergi meninggalkan wilayah Bangka. Bupati bahkan tidak menggubris desakan Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo yang melarangnya melakukan pengusiran.
Kepada VOA, Yendra Budiana mengaku kecewa dengan munculnya surat keputusan Bupati Bangka itu. Langkah pengusiran itu tentu saja adalah tindakan intoleran kepada kelompok minoritas yang tidak dapat diterima.
Yendra menyebut Bupati Bangka sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis yang terjadi. Ke-20 anggota Ahmadiyah yang dipaksa meninggalkan rumah mereka sendiri kini menjadi tanggung jawab bupati sepenuhnya. Kini, masih ada 62 orang anggota Ahmadiyah lain di Bangka yang sewaktu-waktu akan dipaksa pindah, mengikuti surat keputusan bupati.
“Telah terjadi pemaksaan pemindahan beberapa anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia di sana, atas alasan keamanan. Sampai sore ini kami belum memperoleh update-nya mereka dipindahkan ke mana. Kami sudah pasti tidak akan pernah memilih jalan kekerasan, tetapi kami juga tidak pernah tentunya dengan keinginan sendiri untuk keluar dari rumah milik kami sendiri yang sah,” jelas Yendra.
Persoalan ini telah dilaporkan pengurus Ahmadiyah pusat ke Presiden, anggota DPR, Komnas HAM dan sejumlah lembaga lain. Masalahnya, bupati sebagai penguasa daerah memiliki kebijakan yang berbeda. Yendra mengaku, Ahmadiyah kini menunggu respon pemerintah pusat, karena tindakan semena-mena ini bisa jadi akan berlangsung lagi.
“Sikap kami tentu saja meminta tanggung jawab negara atas peristiwa ini. Secara khusus tentunya kepada Bupati Bangka atas peristiwa yang terjadi hari ini. Secara umum tentunya kepada Presiden Joko Widodo dengan Nawacita-nya yang menyatakan bahwa negara hadir memberi rasa aman dan dengan Nawacita juga menyatakan bahwa kebhinekaan akan terus diperkuat dengan dialog antarwarga. Pertanyaannya adalah, apakah yang terjadi di Bangka hari ini adalah implementasi dari Nawacita?," kata Yendra Budiana.
Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Adiani Viviani menyebut tindakan Bupati Bangka sebagai pelanggaran serius terhadap undang-undang dan Hak Asasi Manusia. Adiani menilai, Bupati Bangka melakukan tindakan yang berkebalikan dengan kewajibannya selaku pemimpin, yaitu menjamin keamanan dan keselamatan rakyatnya sendiri.
“Semestinya kan sebaliknya, dia sebagai kepala daerah, dia terikat dengan janji dan sumpah jabatannya, dia juga harus berpegang teguh pada konstitusi, pada Pancasila, pada mandat UU No 32 tahun 2004, yang mewajibkan dia melindungi kelompok minoritas yang sedang mendapat intimidasi dari kelompok lain, bukan sebaliknya,” kata Adiani Viviani.
Elsam mencatat, apa yang dilakukan oleh Bupati Bangka ini bukanlah yang pertama kali. Ada sejumlah kepala daerah di Indonesia, yang secara terbuka mengeluarkan keputusan yang jelas bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 2015, kebijakan serupa juga terjadi di Kabupaten Banjar, Sukabumi dan Depok yang semuanya berada di Provinsi Jawa Barat.
Di tahun-tahun sebelumnya, tekanan juga terus diterima anggota Ahmadiyah Indonesia, sehingga Elsam menjadikan mereka sebagai korban pelanggaran HAM terbanyak di Indonesia, tahun 2011 lalu. [ns/lt]