Juri militer AS menjatuhkan hukuman mati kepada Mayor Nidal Hasan –psikiater tentara yang membunuh 13 tentara dalam penembakan membabi-buta di Fort Hood – Texas tahun 2009.
Tim juri yang beranggotakan 13 orang itu melakukan pembahasan secara singkat hari Rabu (28/8), sebelum menjatuhkan hukuman mati kepada Mayor Nidal Hassan – seorang warga Muslim-Amerika, hukuman yang tampaknya sangat diinginkan Nidal Hasan dalam sidang selama dua minggu ini.
Nidal Hasan yang mengatakan ia “berpindah” posisi dalam menghadapi perang Amerika di Irak dan Afghanistan, dinyatakan bersalah karena melakukan pembunuhan berencana terhadap tentara yang akan dikirim ke dua perang tersebut. Ia mengatakan serangan itu adalah untuk mencegah tentara menyerang gerilyawan Muslim di kedua negara itu.
Kolonel Mike Mulligan – jaksa dalam kasus ini – mendesak tim juri untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Nidal Hassan, yang juga telah melukai lebih dari 30 tentara lainnya. Mike Mulligan mengatakan kepada tim juri, Nidal Hassan “untuk selamanya adalah seorang kriminal – bukan martir. Ia adalah pembunuh berdarah dingin”.
Nidal Hassan yang membela dirinya sendiri, tidak menyampaikan pembelaan dan menolak bersaksi. Ia mengaku bahwa ia adalah sang penembak dan sewaktu kasus itu hampir selesai disidang, ia mengatakan kepada tim juri bahwa “saya tidak punya argumen penutup”.
Tim penasehat hukumnya dalam salah satu sidang mengatakan Nidal Hasan yang berusia 42 tahun hanya melakukan sedikit hal untuk menyangkal tuduhan karena mereka yakin Nidal Hasan ingin dijatuhi hukuman mati.
Juri yang sama menuntutnya, kemudian menjatuhkan hukuman berdasarkan ke-45 tuduhan setelah mendengarkan keterangan para saksi yang menggambarkan bagaimana ia menembaki tentara di klinik kesehatan di Fort Hood.
Hukuman mati terhadap Hasan – yang bisa dilakukan lewat suntikan – secara otomatis memicu peninjauan yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun dan harus disetujui oleh Presiden sebelum bisa dilaksanakan.
Hukuman mati jarang dijatuhkan dalam militer Amerika, Hingga sekarang hanya ada lima tahanan yang menunggu hukuman mati. Tentara Amerika terakhir dieksekusi tahun 1961.
Nidal Hasan yang mengatakan ia “berpindah” posisi dalam menghadapi perang Amerika di Irak dan Afghanistan, dinyatakan bersalah karena melakukan pembunuhan berencana terhadap tentara yang akan dikirim ke dua perang tersebut. Ia mengatakan serangan itu adalah untuk mencegah tentara menyerang gerilyawan Muslim di kedua negara itu.
Kolonel Mike Mulligan – jaksa dalam kasus ini – mendesak tim juri untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Nidal Hassan, yang juga telah melukai lebih dari 30 tentara lainnya. Mike Mulligan mengatakan kepada tim juri, Nidal Hassan “untuk selamanya adalah seorang kriminal – bukan martir. Ia adalah pembunuh berdarah dingin”.
Nidal Hassan yang membela dirinya sendiri, tidak menyampaikan pembelaan dan menolak bersaksi. Ia mengaku bahwa ia adalah sang penembak dan sewaktu kasus itu hampir selesai disidang, ia mengatakan kepada tim juri bahwa “saya tidak punya argumen penutup”.
Tim penasehat hukumnya dalam salah satu sidang mengatakan Nidal Hasan yang berusia 42 tahun hanya melakukan sedikit hal untuk menyangkal tuduhan karena mereka yakin Nidal Hasan ingin dijatuhi hukuman mati.
Juri yang sama menuntutnya, kemudian menjatuhkan hukuman berdasarkan ke-45 tuduhan setelah mendengarkan keterangan para saksi yang menggambarkan bagaimana ia menembaki tentara di klinik kesehatan di Fort Hood.
Hukuman mati terhadap Hasan – yang bisa dilakukan lewat suntikan – secara otomatis memicu peninjauan yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun dan harus disetujui oleh Presiden sebelum bisa dilaksanakan.
Hukuman mati jarang dijatuhkan dalam militer Amerika, Hingga sekarang hanya ada lima tahanan yang menunggu hukuman mati. Tentara Amerika terakhir dieksekusi tahun 1961.