Kepastian pelimpahan kasus itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana, dalam konferensi pers, Rabu (15/6) siang.
“Hari ini, Rabu 15 Juni 2022, penuntut umum pada Direktorat Pelanggaran HAM Berat, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, sedang melaksanakan pelimpahan berkas perkara, atas nama terdakwa IS, dalam perkara dugaan pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Paniai di Provinsi Papua tahun 2014, ke Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus, Makassar,” papar Ketut yang juga mengatakan, bahwa negara telah menunjuk 34 penuntut umum untuk kasus ini.
Tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sehari sebelumnya, terjadi aksi pengeroyokan yang dilakukan anggota TNI terhadap sekelompok pemuda. Warga yang meminta penjelasan peristiwa itu, justru menjadi korban kekerasan aparat. Setidaknya empat warga dinyatakan tewas akibat tembakan, serta 21 warga terluka.
IS adalah perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai, ketika peristiwa itu berlangsung. Ia dinyatakan bersalah atas tragedi yang terjadi, karena dia tidak melakukan pencegahan aksi kekerasan bersenjata oleh anak buahnya.
BACA JUGA: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Secara Non Yudisial Langgengkan Impunitas“Peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komando militer, yang secara de jure dan de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya,” tambah Ketut.
IS juga dinilai tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya. Selain itu, perwira TNI itu tidak menyerahkan pelaku kekerasan kepada pejabat yang berwenang.
“Untuk itu dilakukan penyelidikan, penyidikan dan sekarang dilakukan penuntutan, dan pada hari ini dilakukan pelimpahan perkara, dan dalam waktu dekat mudah-mudahan sudah dilakukan persidangan,” ujarnya lagi.
IS didakwa secara kumulatif melanggar Pasal 42 ayat (1) jis Pasal 9 huruf a, jis Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Kedua Pasal 40 jis Pasal 9 huruf h jis Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Mempertanyakan Satu Tersangka
Meski menjadi langkah maju yang harus diapresiasi, penetapan IS sebagai satu-satunya tersangka dalam kasus ini patut dikritisi. Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy kepada VOA mengatakan, semestinya pelaku yang dijerat hukum lebih dari satu.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kita berpikir bahwa ini pekerjaan yang dilakukan oleh tersangka yang bukan hanya satu orang, tetapi sejumlah orang yang terlibat. Artinya mereka yang ada di lapangan. Kemudian, selain IS ini kan pasti ada pihak-pihak yang diduga bisa diminta pertanggungjawaban hukumnya. Tetapi ternyata IS saja yang ditetapkan menjadi tersangka, dan hari ini diajukan ke pengadilan HAM,” kata Warinussy.
Karena proses hukum sudah akan berjalan, tantangan jaksa saat ini adalah menunjukkan bahwa penembakan yang terjadi hingga membuat empat penduduk Paniai meninggal, bukan hanya atas kemauan tersangka IS. Dakwaan harus bisa menjelaskan, apakah memang IS tidak mampu mengendalikan pasukan, ataukah dia dibuat tidak mampu melakukan itu.
Warinussy juga berharap, hakim mampu mengupas keterangan di pengadilan untuk menutup lubang-lubang fakta yang saat ini ada.
“Pada waktu proses pemeriksaan perkara di PN Makassar itu bisa diketahui, bahwa ini tidak semata-mata perbuatan yang dikehendaki, tetapi juga disebabkan karena memang IS berada dalam posisi dibuat tidak mampu mengendalikan anggotanya atau pasukannya, sehingga terjadilah perbuatan yang merupakan pelanggaran HAM berat itu,” tegas Warinussy.
Ia mengingatkan, dalam aksi pada 2014 tersebut, empat korban seluruhnya adalah pelajar yang masih berseragam. Mereka tidak membawa senjata apapun, dan hanya bergerak bersama ke arah lapangan Karel Gobai, Paniai, untuk berdemo. Karena itulah, Warinussy meyakini perbuatan kekerasan bersenjata ini dilakukan tidak hanya oleh satu orang.
“Perbuatan ini, pada saat itu juga dilakukan oleh para anggota. Berarti itu institusi secara kemiliteran. Tetapi ini sepertinya diarahkan sebagai kasus ketidakmampuan seorang prajurit semata-mata, dan bukan merupakan perbuatan dari institusi, katakanlah institusi TNI yang melakukan pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Warinussy juga mengingatkan konteks perbuatan ini pada Pasal 7,8 dan 9, UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 7 menyebut, ada dua jenis pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan.
BACA JUGA: Janji Manis untuk Papua: Harapan Baru di 2022 atau Angin Surga?Dalam Pasal 8, kejahatan genosida diartikan sebagai perbuatan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok, menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat, menciptakan kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik, memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. Sedangkan Pasal 9 mengartikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai perbuatan berbentuk serangan secara meluas atau sistematik, dan ditujukan langsung kepada penduduk sipil.
Beberapa contoh kejahatan terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, kekerasan seksual, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, dan lain sebagainya.
Janji Lama Jokowi
Penyelesaian kasus tragedi Paniai merupakan janji lama Jokowi, yang diucapkan pada kunjungannya pada 27 Desember 2014 di Jayapura.
“Saya ikut berempati terhadap keluarga korban kekerasan. Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin, sekali lagi tanah Papua sebagai tanah yang damai,” kata Jokowi ketika itu.
Butuh waktu lima tahun bagi Komnas HAM untuk membentuk tim. Dalam catatan lembaga ini, Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan menyebut tentang tim itu dalam konferensi pers di kantornya, Jumat 5 April 2019.
“Jadi memang ini Komnas HAM masih berproses bekerja untuk menuntaskan penyelidikan terkait kasus yang terjadi di Paniai ini dan sekarang yang dilakukan Komnas HAM dalam kerangka dasar hukum UU 26 Tahun 2000,” kata Munafrizal ketika itu.
BACA JUGA: Mahfud MD: Kejagung Telah Bentuk Tim Kasus Pelanggaran HAM Paniai PapuaBekerja hampir satu tahun, Komnas HAM akhirnya menetapkan tragedi Paniai sebagai pelanggaran HAM berat pada 3 Februari 2020. Komnas HAM kemudian menyerahkan berkas dan kesimpulan penyelidikan kepada Jaksa Agung, 11 Februari 2020. Pada 19 Maret, Jaksa Agung mengembalikan berkas itu dengan alasan belum memenuhi unsur formil dan materiil. Komnas HAM kembali mengembalikan berkas pada 14 April 2020, dan 20 Mei 2020, Jaksa Agung mengembalikan berkas dengan alasan mirip seperti sebelumnya.
Setelah tekanan berbagai pihak, terutama aktivis lembaga non pemerintah, Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, akhirnya menyatakan berkas perkara Paniai atas nama tersangka IS dinyatakan lengkap. Perkara ini memiliki nomor: 01/BERKAS-PEL.HAM.BERAT/04/2022 tertanggal 6 April 2022. [ns/ka]