Sri Rabitah – tenaga kerja Indonesia TKI asal Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat – sangat gembira ketika diajak beberapa temannya bekerja di luar negeri. Berbekal semangat, Sri meninggalkan kampungnya dan terbang ke Jakarta tahun 2014, bersama agen penyalur tenaga kerja PT BLKN Falah Rima Hudaity Bersaudara.
Setelah beberapa hari di tempat penampungan, Sri dikirim ke Doha, Qatar untuk bekerja pada suatu keluarga yang dikenalnya sebagai Madame Gada. Sehari kemudian ia dipindahkan ke rumah orang tua Madame Gada.
Suatu hari Sri diajak ke sebuah rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan kesehatan. Ia sempat bingung karena dimasukkan ke ruang operasi, tapi tidak berani banyak bertanya. Suntikan obat bius membuatnya tidak sadarkan diri dan ketika ia bangun beberapa jam kemudian, ia melihat ada bekas jahitan di tubuhnya dan ketika ia buang air kecil, alat kateter yang tersambung pada kemaluannya mengeluarkan darah.
Setelah dari rumah sakit itu Sri dibawa ke kantor TKI di AL Jazeera dan beberapa hari kemudian ia dipulangkan ke Indonesia. Selepas itu Sri kerap merasa sakit di bagian pinggang. Ia sudah menjalani berbagai pengobatan tradisional, tetapi sakitnya tak kunjung hilang.
Hingga ketika datang ke RSUD Lombok Utara, dokter mengetahui bahwa ada salah satu ginjalnya yang hilang dan bagian yang hilang itu dipasangi selang yang tersambung ke ginjal yang masih berfungsi. Sri pun menangis pedih.
Kasus Sri yang sampai ke Jakarta, akhirnya menjadi berita besar dan berbagai tuntutan pun disampaikan pada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dalam konferensi pers di Jakarta hari Selasa (28/2), juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan pihak KBRI di Doha telah memanggil agensi yang biasa mengurus tenaga kerja asing di Qatar. Sejauh ini KBRI Doha mengetahui bahwa Sri masuk ke Doha pada Juli 2014 dan kembali ke Indonesia empat bulan kemudian. Sri tidak pernah melaporkan keberadaannya ke KBRI. Namun, KBRI di Doba kini telah meminta keterangan dari rumah sakit tempat Sri pernah dioperasi.
"Selanjutnya sama rumah sakit dikatakan pernah memang pasien bernama itu (Sri Rabitah) datang ke rumah sakit dan dilakukan tindakan. Namun, tindakan itu sesuai dengan izin dari pasiennya. Nah saat ini yang kita minta adalah bukti-bukti itu. Jadi, sekarang KBRI sedang menyelidiki apakah benar-benar ada buktinya," ujar Arrmantha.
Setelah mendapat bukti atau tidak mengenai kebenaran keterangan dari rumah sakit itu, tambah Arrmanatha, baru pemerintah akan memutuskan tindakan selanjutnya.
Ketika didesak wartawan, apakah mantan majikan Sri akan dipanggil, Arrmanatha mengatakan masih belum bisa memastikan karena masih mengumpulkan fakta dan data yang diperlukan.
Direktur Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan selama ini kasus dugaan perdagangan organ tubuh yang menimpa TKI tidak pernah diusut tuntas oleh pemerintah. Sri adalah salah seorang korban yang masih bertahan hidup dan seharusnya pemerintah – ujar Wahyu – menyelidiki tuntas kasus ini untuk mengungkap sindikat perdagangan organ tubuh yang lebih besar.
"Penembakan TKI di mana ada tiga TKI kita yang meninggal dunia karena ditembak polisi Malaysia dan ketika jenazahnya pulang ke Lombok Timur diduga ada organ tubuh yang hilang. Jenazah yang dianggap itu kriminal kadang-kadang tanpa pengawasan. Tahun lalu Dolvina dari NTT itu juga diduga ada organ yang hilang tetapi tidak pernah ada penyelidikan yang serius. Dia adalah TKI yang tidak berdokumen dan meninggal," papar Wahyu.
Your browser doesn’t support HTML5
Wahyu Susilo menambahkan Indonesia harus benar-benar serius dalam mengungkap kasus ini karena penjualan atau pengambilan paksa organ tubuh merupakan salah satu kejahatan transnasional yang terorganisir.
"Pentingnya dilakukan investigasi ini harus melibatkan orang-orang yang benar-benar kredibilitas di dalam soal kejahatan penghilangan organ tubuh ini misalnya Ahli forensik, ahli bedah tubuh dalam. Tidak dokter umum misalnya yang melakukan otopsi atau visum seperti itu, karena penjualan organ tubuh ini kalau kita tidak pernah serius setiap waktu kasus organ tubuh yang hilang tidak akan pernah tuntas," imbuh Wahyu Susilo. [fw/em]