Pada hari pertamanya menjabat, Presiden Joe Biden menandatangani perintah eksekutif yang mengembalikan Amerika pada perjanjian iklim Paris, menunjukkan rencana fokus pemerintahannya pada perubahan iklim.
Bagi banyak pengamat, ada semacam semangat baru setelah AS, di bawah Presiden Donald Trump selama empat tahun, tidak aktif dalam masalah iklim
"Bagi orang-orang di seluruh dunia, perwujudan jelas AS terkait iklim sangat aktif di bawah pemerintahan Obama, kebalikannya di bawah Trump dan sekarang di bawah Presiden Biden kembali ke posisi aktif," kata Nathan Hultman, Direktur Pusat Keberlanjutan Global Universitas Maryland.
Namun Hultman yakin pemahaman yang lebih baik mengenai dekade terakhir kebijakan iklim Amerika diperoleh dengan memperhatikan pencapaian tidak hanya pemerintah federal AS melainkan sampai "aktor sub-nasional", seperti negara bagian, kota, perusahaan, kelompok suku, dan organisasi nirlaba.
BACA JUGA: AS Tegaskan Kembali Masalah Iklim sebagai Prioritas Kebijakan Luar NegeriSementara AS bersiap-siap menyelenggarakan KTT iklim virtual, Kamis (22/4), dengan 40 pemimpin dunia dan mengembalikan AS ke panggung dunia, Biden menghadapi tugas yang pelik. Bagaimana mengedepankan tujuan yang tidak mengikat tetapi simbolis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berdampak nyata pada upaya perubahan iklim, tidak hanya di AS tetapi di seluruh dunia.
Target 50 persen, yang oleh sebagian besar para pakar diperkirakan menjadi hasil dari perundingan intens di Gedung Putih, hampir menggandakan komitmen AS sebelumnya. Target tersebut juga menuntut perubahan dramatis dalam sektor listrik dan transportasi, termasuk peningkatan signifikan dalam energi listrik terbarukan seperti angin dan matahari dan pengurangan emisi yang tajam dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak.
Ilmuwan, kelompok lingkungan dan bahkan pemimpin bisnis meminta Biden untuk menetapkan target yang akan memotong emisi gas rumah kaca AS setidaknya 50 persen di bawah level 2005 pada tahun 2030. [my/ka]