Kematian Presiden Chad Idriss Deby bisa menjadi kemunduran besar bagi upaya kontraterorisme di wilayah Sahel Afrika yang bergolak, demikan menurut aktivis Chad, politisi Afrika, dan pakar keamanan.
Pemimpin berusia 68 tahun itu meninggal Senin, karena cedera yang dideritanya saat mengunjungi pasukan melawan kelompok pemberontak yang berbasis di Libya yang dikenal sebagai Front for Change and Concord in Chad, atau FACT. Kelompok itu minggu sebelumnya maju dari utara menuju ibu kota, N'Djamena.
Setelah kematian Deby, para jenderal membentuk dewan militer untuk menjalankan negara dan menunjuk putra Deby, Jenderal Mahamat Idriss Deby Itno yang berusia 37 tahun, sebagai presiden sementara.
BACA JUGA: Presiden Chad Idriss Deby Tewas, Putranya akan Pimpin Dewan MiliterPengamat lokal mengatakan kekacauan politik bisa menyebabkan tantangan yang lebih serius di negara Afrika Tengah itu.
"Negara ini menghadapi banyak tantangan keamanan yang harus dihadapi saat ini," kata Delphine Djiraibe, seorang pengacara hak asasi manusia dan pendiri Pusat Hukum Kepentingan Umum, yang berbasis di N'Djamena.
"Dalam perang melawan terorisme, Presiden Deby adalah sekutu dekat Prancis dan kekuatan asing lainnya, jadi kematiannya pasti akan menciptakan kekosongan," katanya kepada VOA dalam wawancara telepon. "Terlepas dari pemerintahan diktatornya, keefektifannya dalam kampanye melawan teror di kawasan itu merupakan faktor utama mengapa negara-negara ini mendukungnya." [my/pp]