Kemenaker: Hampir 46 Ribu Di-PHK Sejak Januari

FILE - Suasana kerja di pabrik garmen PT Trisula Garmindo Manufacturing, di Bandung, Jawa Barat, 17 September 2013. (Reuters)

Kementerian Tenaga Kerja mencatat adanya  trend pemutusan hubungan kerja (PHK). Apa saja penyebabnya?

Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja Anwar Sanusi mengatakan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2024 mencapai 45.969 per 26 Agustus.

“Jadi memang setiap bulan kami melihat tren mulai dari Januari-Februari, Februari-Maret, Maret-April, kemudian April-Mei, rata-rata sekitar 3.500-4.200,” ungkap Anwar ketika berbincang dengan VOA.

Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia, PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Barat, dan umumnya menerpa sektor manufaktur atau industri pengolahan.

“Jadi kalau kami lihat data, memang sektor manufaktur sangat terdampak. Salah satunya tekstil. Kalau kita lihat per 26 Agustus, PHK di sektor industri pengolahan termasuk tekstil ada 23.365,” jelasnya. Menurutnya juga, jumlah PHK pada Januari-Agustus tahun ini lebih tinggi sekitar 5.000 dibandingkan periode yang sama tahun 2023.

Pihak Kementerian Tenaga Kerja,kata Anwar, selalu melakukan mediasi dengan berbagai perusahaan agar PHK tidak terjadi. Namun, ketika PHK tidak terhindarkan, menurutnya, pemerintah selalu berupaya agar para karyawan yang kehilangan pekerjaannya tersebut memperoleh hak-haknya, dan jika memungkinkan perusahaan memberi bekal tambahan atau modal kepada karyawan yang di-PHK untuk membantu mencari pekerjaan lain.

BACA JUGA: Lonjakan Impor dari China, Hantam Industri Dalam Negeri Indonesia

“Misalnya PHK di sektor digital, kayak kemarin Tokopedia sama Shopee itu juga ada PHK, mereka memberikan solusi dengan memberikan bekal laptop, yang itu sebagai bekal bagi karyawan yang di PHK untuk bisa mengembangkan usaha, atau mungkin mencari jenis pekerjaan baru yang menguntungkan,” katanya.

Lebih jauh, Anwar mengungkapkan, pihak Kemenaker melakukan beberapa langkah agar masyarakat yang terkena PHK dapat kembali mendapatkan pekerjaan. Salah satunya, menurutnya, dengan memperkuat sistem informasi kerja.

Kemenaker, katanya juga, beberapa waktu lalu menyelenggarakan job fair nasional yang bertajuk “Naker Fest” dengan mengumpulkan 225 perusahaan yang menyediakan 178 ribu lowongan kerja.

Dari sisi kebijakan, pihaknya juga mengoptimalkan jaminan sosial ketenagakerjaan baru, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Menurut Anwar, JKP bisa menjadi “pelampung” bagi mereka yang terkena PHK. JKP menyediakan uang tunai sebesar 45 persen dari gaji terakhir selama tiga bulan pertama setelah di-PHK, dan 25 persen dari gaji terakhir pada tiga bulan berikutnya.

BACA JUGA: Badai Tekstil Nasional: Industri Ambruk, Kampus Terpuruk

Selain itu, menurutnya, pihaknya juga menawakan berbagai pelatihan vokasi yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan para pencari kerja dalam berkompetisi di pasar kerja.

Faktor Pelemahan Global dan Pasar Domestik

Ekonom Indef Nailul Huda mengungkapkan badai PHK ini disebabkan karena adanya pelemahan industri manufaktur secara global. Ia mencontohkan perekonomian negara-negara besar yang menjadi pasar ekspor Indonesia seperti Amerika Serikat dan China yang sedang melemah.

“Ketika permintaan itu turun, yang terjadi adalah produksi juga turun, ketika produksi turun pasti akan ada efisiensi personal yang harus dilakukan oleh perusahaan, salah satunya adalah melakukan PHK,” ungkapnya ketika berbincang dengan VOA.

Tantangan dari sisi pasar domestik juga tidak kalah berat. Gempuran barang-barang impor dari China dengan harga yang sangat miring menyebabkan produsen dalam negeri tidak sanggup bersaing. Hal ini, katanya, diperparah dengan tertekannya daya beli masyarakat kelas menengah.

“Dengan adanya kenaikan harga beberapa barang yang diatur oleh pemerintah, seperti tahun 2022 ada kenaikan pertalite, harga beras mahal, kemudian beberapa barang yang pada akhirnya ini tidak sesuai dengan kenaikan pendapatan yang hanya 1,5 persen. Ini bisa dibilang menekan permintaan dari dalam negerinya, karena mereka dengan terbatasnya penghasilan, akhirnya masyarakat cenderung memilih barang yang lebih murah meskipun impor dari China,” jelasnya.

BACA JUGA: Gaji Pekerja Dipotong untuk Tapera, Mampukah Menyelesaikan Permasalahan Kebutuhan Rumah?

“Artinya adalah dari sisi ekspor kita ditekan karena permintaan global yang turun, dari sisi domestik kita dipaksa untuk bersaing dengan barang yang lebih murah. Ini yang menyebabkan akhirnya produksi dari industri manufaktur, tekstil, petrokimia dan sebagainya itu mengalami permintaan penurunan dalam negeri,” tambahnya.

Nailul juga mengatakan tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan investasi. Dengan begitu, kata Nailul, kalangan pengusaha cenderung menunda pengembangan usaha mereka. Penundaan itu membuat PHK semakin masif dan tidak terjadinya penyerapan tenaga kerja.

Agar badai PHK ini bisa segera mereda, Nailul menyarankan pemerintah untuk melakukan beberapa langkah, termasuk melindungi pasar domestik dari serbuan produk-produk impor misalnya dengan menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).

BI, katanya juga, bisa mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga acuan. Menurutnya, kebijakan ini bisa dilakukan mengingat inflasi tanah air masih terkendali di level 2,8 persen.

“Jadi ada sebenarnya celah bagi kita untuk bisa menurunkan suku bunga acuan BI sehingga dari sisi moneter tidak tertekan. Jadi dunia usaha bisa bernapas dengan pinjaman yang tidak mencekik. Ini yang saya rasa bisa dilakukan baik dari sisi fiskal melalui perlindungan pasar domestik, lalu dari sisi moneter menurunkan cost of investment atau cost of fund dari perusahaan untuk bisa lebih berkembang dengan biaya utang atau biaya investasi yang tidak tinggi,” pungkasnya. [gi/ab]