Kemenangan Pemberontak Suriah, Picu Ketegangan Turki, Iran, dan Rusia

  • Dorian Jones

Pengungsi berjalan di antara tenda-tenda di kamp penampungan kota Tabqa, provinsi Raqqa, Suriah utara, 4 Desember 2024. Ribuan keluarga Kurdi yang mengungsi dari Aleppo dan Tel Rifaat berakhir di tempat penampungan sementara di wilayah yang dikuasai Kurdi. (Hogir El Abdo/AP)

Kemenangan pemberontak Suriah yang didukung Turki, mengancam akan memicu ketegangan antara Turki, Iran, dan Rusia – tiga negara yang banyak terlibat langsung dalam konflik dalam negeri Suriah yang telah berlangsung selama 13 tahun. Namun beberapa analis memperkirakan diplomasi akan berhasil.

Ketika para pemberontak Suriah meraih kemajuan pesat melawan pasukan Suriah, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengadakan pembicaraan hari Senin lalu dengan mitranya dari Turki, Hakan Fidan.

Turki, yang mendukung pemberontak Suriah, menyerukan dialog dengan pemerintah Suriah. Fidan mengatakan pembicaraan itu kini perlu melibatkan pihak oposisi Suriah. Namun meningkatnya pertempuran terbaru di Suriah menegaskan perselisihan antara Turki dan Iran.

Profesor hubungan internasional di Universitas Marmara Istanbul Bilgehan Alagoz mengatakan, “Pemerintahan Iran berupaya memperoleh pengaruh yang lebih besar terhadap rezim Assad. Mereka sangat berhati-hati dan menentang kemungkinan dialog Turki-Suriah. Iran mungkin bukan musuh Turki, namun Iran tidak bersikap ramah terhadap Turki.”

Rusia, seperti Iran, memiliki banyak hal yang dipertaruhkan di Suriah. Rusia adalah pendukung militer penting Presiden Suriah Bashar Al Assad, yang mengijinkan angkatan laut Rusia menggunakan pangkalan pentingnya di Suriah.

Your browser doesn’t support HTML5

Pemberontak Suriah yang Didukung Turki, Akan Picu Ketegangan

Zaur Gasimov, profesor sejarah dan spesialis masalah Rusia di University of Bonn mengatakan, “Bagi Moskow dan Iran, sangat penting jika Assad tetap berkuasa. Rusia pasti akan menggunakan kekuatan militer dan dirgantaranya, yang akan menelan banyak korban jiwa di kalangan warga sipil. Itu berarti terjadi gelombang migran baru.”

Lebih dari satu juta pengungsi Suriah berkemah di seberang perbatasan Turki di provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak Suriah. Turki menampung lebih dari empat juta pengungsi, dan para analis mengatakan, setiap serangan Rusia yang membuat eksodus (pengungsian massal) baru, akan memicu tanggapan dari Turki.

Murat Aslan, pakar hubungan internasional Yayasan SETA untuk Riset Politik, Ekonomi dan Sosial, sebuiha lembaga pemikir yang pro-pemerintah Turki. “Ada garis yang mungkin dilanggar Turki. Maksud saya, jika ada perkembangan yang secara langsung mengancam kepentingan atau keamanan Turki, maka Turki akan campur tangan,” sebutnya.

BACA JUGA: KBRI Damaskus Tetapkan Status Siaga 1 di 8 Provinsi di Suriah

Meskipun mendukung pihak-pihak yang bertempur dalam perang saudara di Suriah, Turki dan Rusia berhasil mengatasi perbedaan-perbedaan itu dan para pemimpin mereka menjaga hubungan yang erat.

Keduanya membahas Suriah melalui telepon, hari Selasa. Para analis mengatakan, kedua negara itu menganggap hubungan mereka terlalu penting untuk diabaikan karena masalah Suriah.

Kembali pakar mengenai Rusia, Zaur Gasimov menambahkan, “Moskow tidak akan membahayakan kerja samanya dengan Turki, yang sangat penting bagi kebijakan Rusia terhadap dunia. Rusia dan Turki akan menunjukkan pragmatisme politik dan berusaha menyelesaikan perbedaan pandangan melalui perundingan.”

Di bawah kebijakan yang disebut Proses Astana, Rusia, Turki, dan Iran pada masa lalu bekerja sama mengenai Suriah. Para analis mengatakan Proses Astana dapat dihidupkan kembali, jika semua pihak tertarik untuk mencapai solusi diplomatik terhadap konflik yang berkepanjangan di Suriah. [ps/ab]