Pemimpin kelompok pemberontak Taliban di Afghanistan hari Minggu (9/5) memuji penarikan mundur pasukan Amerika dan NATO dari negara itu, sementara para petugas di Kabul masih terus menghitung korban beberapa ledakan di luar sebuah sekolah putri di ibu kota negara itu, yang hingga saat ini sudah mencapai lebih dari 60 orang.
“Kami menilai penarikan mundur pasukan Amerika dan negara-negara asing lain merupakan langkah yang baik dan mendesak diwujudkannya semua bagian dari Perjanjian Doha,” ujar Mawlawi Hibatullah Akhundzada.
BACA JUGA: AS Desak Taliban Lanjutkan Pembicaran Damai, Setop KekerasanPemimpin Taliban itu merujuk pada perjanjian terobosan pada Februari 2020 untuk membangun kembali perdamaian, yang dirundingkan Amerika dengan Taliban di ibu kota Doha, Qatar. Salah satu bagian penting dari perjanjian itu adalah penarikan mundur seluruh pasukan Amerika dan pasukan koalisi dari Afghanistan. Ini merupakan perang terlama yang melibatkan Amerika dan tahun ini memasuki tahun ke 20.
“Sayangnya pihak Amerika sejauh ini telah berulangkali melanggar perjanjian yang ditandatangani itu dan menimbulkan kerugian materil dan jiwa warga sipil,” tuduh Akhundzada dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkannya terkait Hari Raya Idul Fitri pertengahan pekan ini.
BACA JUGA: Kemenangan Taliban di Afghanistan Belum Pasti
Biden Targetkan Penarikan Pasukan Selesai pada 11 September
Penarikan mundur pasukan militer asing sedianya selesai pada 1 Mei sesuai yang disepakati dalam perjanjian itu, tetapi Presiden Amerika Joe Biden tidak menepati tenggat itu karena alasan logistik. Biden bula lalu mengumumkan bahwa seluruh pasukan Amerika akan ditarik selambat-lambatnya pada 11 September 2021 ini, bertepatan dengan peringatan 20 tahun serangan teroris di Amerika.
Taliban mengecam penundaan itu dan mengancam akan melanggar gencatan senjata dengan pasukan internasional yang telah diterapkan sejak ditandatanganinya perjanjian itu. Sejumlah komandan militer Amerika mengatakan penarikan pasukan telat berjalan lancar.
Amerika juga menuduh kelompok pemberontak Taliban tidak memenuhi komitmennya untuk meredam aksi kekerasan dan terlibat dalam “proses perdamaian yang sejati” dengan para rival-nya di Afghanistan.
Sejak dimulainya penarikan mundur pasukan asing, Taliban telah meningkatkan serangan di medan tempur yang meningkatkan jumlah korban tewas di kalangan pasukan pemerintah Afghanistan, dan mencaplok wilayah baru.
Panglima Angkata Bersenjata Afghanistan Sabtu lalu (8/5) mengatakan pasukannya telah “menewaskan dan melukai 1.000 pejuang Taliban pekan lalu.” Musuh-musuh Afghanistan kerap membesar-besarkan jumlah korban tewas, dan mustahil memverifikasi pernyataan itu dari sumber-sumber yang independen.
Pejabat-pejabat Amerika menyalahkan Taliban atas peningkatan aksi kekerasan terbaru dan menyerukan pada seluruh pihak yang bertikai untuk mengurangi kekerasan dan memulai kembali perundingan damai yang macet, yang dikenal sebagai “perundingan intra-Afghanistan.”
BACA JUGA: Warga Afghanistan Cemas Mengenai Penarikan Pasukan AsingProses perdamaian, yang berawal dari perjanjian Amerika-Taliban yang dimulai September lalu di Doha, sebagian besar menemui jalan buntu karena pihak-pihak yang bertika di Afghanistan saling tuding bahwa pihak lain menunda atau berupaya merusak dialog yang dibangun.
“Kami memprioritaskan perundingan dan saling memahami... Namun pemerintah Kabul telah berulangkali berupaya mensabotase proses politik yang sedang berlangsung ini lewat berbagai cara dan terus terlibat dalam aktivitas semacam itu,” tambah Akhundzada.
Juru bicara Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyangkal tudingan itu, dan menanggapi pernyataan pemimpin Taliban itu dengan mengatakan “jika Taliban tulus dengan apa yang mereka katakan, mereka seharusnya berhenti membunuh warga Afghanistan dan kembali ke meja perundingan untuk membahas perdamaian,” ujar Mohammad Ameri kepada VOA.
Jumlah Korban Ledakan Terus Bertambah
Dalam perkembangan lainnya, beberapa pejabat dan keluarga korban mengatakan kepada media setempat bahwa jumlah korban tewas dalam serangkaian ledakan di luar sebuah sekolah putri di pemukiman Dasht-e-Barchi di bagian barat Kabul hari Sabtu telah meningkat menjadi sedikitnya 63 orang. Sebagian besar korban berasal dari etnis Hazara Syiah. Lebih dari 150 orang menderita luka-luka. Para dokter mengatakan mereka berjuang keras untuk menyelamatkan jiwa mereka-mereka yang luka parah. [em/lt]