Pandemi membangun batasan dalam berinteraksi, tak terkecuali bagi jurnalis. Dalam bencana lain seperti banjir, gempa bumi, hingga tsunami, jurnalis relatif masih bebas bergerak di lapangan untuk mengumpulkan data. Di tengah pandemi virus corona, sebagian besar kebebasan itu terenggut. Wawancara telepon, konferensi pers melalui media poll, hingga diskusi atau seminar yang harus diselenggarakan lewat aplikasi.
Padahal di sisi lain, pemerintah melalui gugus tugas menjadi sumber utama informasi dasar terkait perkembangan pandemi ini. Pemerintah memiliki struktur hingga ke bawah untuk pengumpulan data dan menyajikannya sebagai satu-satunya data resmi yang harus dikutip media. Begitupun di daerah, data menjadi wilayah yang sepenuhnya dikuasai Pemda.
BACA JUGA: Hari Kebebasan Pers Sedunia: Jurnalis Perempuan Diintimidasi dengan 'Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun'Kondisi ini mendorong Haris Firdaus, jurnalis koran Kompas di Yogyakarta, menjalin kolaborasi peliputan kasus virus corona dengan jurnalis dari 7 media berbeda.
“Kolaborasi ini lahir karena kami melihat penanganan COVID-19 di Yogyakarta yang lamban. Juga karena soal keakuratan data. Kita harus menyadari, data yang tidak akurat bisa menyebabkan penanganan yang lamban atau tidak sesuai dengan yang dibutuhkan,” kata Haris.
Kolaborasi jurnalis Yogyakarta sudah melahirkan dua seri tulisan. Seri pertama tentang kecepatan penanganan dan wacana status PSBB. Sedangkan seri kedua adalah telaah data yang simpang siur, terutama terkait kematian yang tidak tercatat. Dalam kolaborasi ini, jurnalis intensif mengulik data, menggelar diskusi, dan melakukan wawancara bersama sejumlah pakar, pejabat pemerintah dan warga untuk keseimbangan informasi.
Laporan-laporan yang dihasilkan kolaborasi jurnalis tersebut bertujuan untuk mengimbangi informasi tunggal dari pemerintah. Data dari gugus tugas, tidak dilihat sebagai satu-satunya sumber data yang harus menjadi acuan, karena ada banyak hal yang masih harus diperbaiki.
BACA JUGA: AJI: Kebebasan Pers di Indonesia “Mungkin” Belum MembaikData Pembanding Skala Nasional
Di tingkat nasional, kekhawatiran kalangan jurnalis terkait data pemerintah seputar kasus virus corona juga muncul. Situasi ini mendorong Ahmad Arif, Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK) Indonesia menginisiasi berdirinya laporcovid19.org.
“Sebenarnya awalnya dimulai karena kita melihat data-data yang disampaikan oleh pemerintah, terutama waktu itu terkait kematian korban, kita menduga terjadinya underreporting sebenarnya. Antara yang dilaporkan tiap hari dengan yang terjadi di masyarakat kita melihat ada gap. Itu yang kemudian mendasari kita untuk pentingnya, mencoba membuat sistem pelaporan tapi berbasis informasi warga dari bawah,” papar Arif.
Selain Arif, mereka yang terlibat dalam pengelolaan laporcovid19.org adalah Irma Hidayana, Konsultan Independen Kesehatan Masyarakat, Asfinawati (YLBHI), Budi Setyarso (Tempo), Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Danang Widoyoko (Transparency International Indonesia), Eryanto Nugroho (Lokataru), Haris Azhar (Hakasasi.id), Hilman Arioaji (U-Inspire), Inayah Assegaf (STH Jentera), Irendra Radjawali (U-Inspire), Zen, R.S (NarasiTV). Mereka didukung tim developer Sonny Prayogo, Fakhriy Fathur, Fikry Nashiruddin, Iban Aso (U-inspire), dan Bari Asunka.
Awalnya, laporcovid19.org mendorong masyarakat untuk aktif memberikan data kematian terkait virus corona di lingkungan mereka. Dalam perjalanannya, perjalanan, pelaporan juga didorong terkait kondisi warga sendiri, jika merasa kesehatannya terganggu dan ada hubungannya dengan virus corona. Langkah ini menjadi bagian upaya penyadaran masyarakat agar tidak takut menyampaikan kondisinya. Di sisi lain, juga menjadi dorongan masyarakat luas agar tidak memberikan stigma kepada mereka yang menyandang status ODP, PDP maupun positif virus corona.
BACA JUGA: Data Pemerintah Soal Korban Tewas Akibat Corona DipertanyakanAhmad Arif dan relawan laporcovid19.org terus melakukan pengumpulan data hingga saat ini. Arif memberi contoh, data kematian PDP sebenarnya tercatat dengan baik di tingkat Kabupaten atau Kota. Namun, angka total tidak pernah muncul di tingkat nasional. Sehingga sampai saat ini, tidak diketahui dengan pasti jumlah kematian di kelompok ODP dan PDP. Padahal organisasi kesehatan dunia (WHO) telah merekomendasikan pencatatan kematian kelompok ini. Langkah itu akan memberikan gambaran yang lebih nyata, seberapa besar kasus kematian akibat virus corona di Indonesia.
“Data yang kita kumpulkan misalnya, kalau kita memasukkan PDP maupun ODP yang meninggal, itu sudah lebih dari 3 kali lipat sebenarnya, sekitar 3,4 kali lipat dari angka-angka yang setiap hari dilaporkan itu. Padahal gambaran yang sesungguhnya mengenai jumlah kematian penting sekali untuk mengetahui skala sesungguhnya dari COVID ini. Kita mendorong pemerintah melengkapi laporannya,” kata Arif.
Ahmad Arif menegaskan, transparansi data akan mendorong kepercayaan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Di sisi lain, data yang terbuka juga membuat para pakar bisa menyusun penelitian lebih tepat, sebagai salah satu acuan penyusunan kebijakan. Jika masyarakat menilai ada data-data terkait virus corona yang ditutupi, respon masyarakat terhadap langkah yang diambil pemerintah tidak akan maksimal.
Jurnalis Hadapi Tantangan Baru
Pengamat media dari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Gilang Desti Parahita melihat kondisi pandemi berpengaruh bagi kerja jurnalis dan media.
“Saya melihat memang ini ada sesuatu guncangan ke dunia komunikasi publik kita ya tidak hanya dampaknya ke jurnalisme melainkan juga bagaimana pemerintah yang juga masyarakat berkomunikasi sebetulnya. tidak hanya jurnalis yang terkena dampaknya mereka juga pemerintah dan masyarakat,” kata Desti.
Jika sebelumnya jurnalis bertemu langsung dengan narasumber, saat ini komunikasi digantikan oleh aplikasi. Selain itu, upaya penelusuran data dan informasi lapangan juga terhambat oleh situasi pandemi.
BACA JUGA: Pekerja Industri Kreatif: Dielu-elukan Tapi Minim PerlindunganDesti merekomendasikan beberapa hal bagi jurnalis untuk menghadapi situasi ini. Pertama, jurnalis harus lebih akrab dengan teknologi media baru dalam berinteraksi. Kedua, jurnalis juga harus lebih sering memanfaatkan media sosial untuk mencari informasi awal dari masyarakat. Jika dahulu mengutip pernyataan narasumber di media sosial dianggap sebuah kemalasan, dalam situasi pandemi virus corona langkah itu tidak dapat dihindari. Bagaimanapun, mayoritas narasumber kini menggunakan media sosial untuk menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, jurnalis dan media dapat menyusun survei online kecil untuk mengetahui kecenderungan masyarakat terkait isu-isu apa yang menjadi perhatian mereka di tengah pandemi. Keempat, perusahaan media sebaiknya mulai memanfaatkan big data bekerja sama dengan pihak ketiga untuk memperkuat kemampuan mengumpulkan data. Kelima, jurnalis harus lebih banyak meluangkan waktu menyisir pernyataan-pernyataan pers dan data yang dirilis setiap departemen atau lembaga terkait isu virus corona. Data itu penting untuk disandingkan dengan data yang dikeluarkan gugus tugas pemerintah.
Jurnalis, kata Desti tidak boleh begitu saja menerima data yang dipublikasikan pemerintah tanpa mengkritisinya. Tanpa sikap kritis terhadap data, jurnalis hanya akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah, dan gagal menjalankan fungsi sebagai watchdog.
“Walaupun kita bergantung kepada pemerintah terkait dengan data, kita bisa mempertanyakan datanya itu sendiri. Saya harap jurnalis di Indonesia mengkitisi hal itu. Tentang bagaimana data itu cukup reliable dan valid, untuk dikatakan bahwa telah terjadi peningkatan atau penurunan. Menghitungnya itu bagaimana,” ujar Desti.
Selalu muncul kemungkinan ada kesenjangan data di lapangan dan apa yang dilaporkan pemerintah. Salah satu tugas jurnalis dan media, adalah memperkecil kesenjangan data riil dan data formal.“Penting bagi pemerintah untuk bersikap terbuka, terkait dengan pengelolaan data dan penanganan krisis COVID-19 ini secara umum. Bersikap terbuka di sini dalam arti, dalam sikap politik dan juga pengelolaan informasi kesehariannya,” tambah Desti.
Desti juga merekomendasikan lebih banyak jurnalis dan perusahaan media melakukan kolaborasi untuk mengatasi keterbatasan kerja jurnalistik di era pandemi. Sikap bersaing terkait kecepatan dan eksklusifitas informasi akan terasa kuno saat ini. Justru yang dibutuhkan adalah kerja sama, terutama dalam pembuatan laporan mendalam. Media juga perlu menyertakan masyarakat penikmat media dalam penyusunan laporan di tengah pandemi. Prinsipnya, tambah Desti, alih-alih kompetisi, kolaborasi jauh lebih penting dalam situasi saat ini.
Laporan IFJ
Federasi Jurnalis Internasional (IJF) telah menggelar survei terhadap 1.300 jurnalis dari 77 negara terkait pandemi virus corona pada 26-28 April 2020. IFJ adalah organisasi jurnalis profesional terbesar di dunia yang beranggotakan 600.000 jurnalis dari 146 negara.
Ketika ditanya mengenai kebebasan pers di negara mereka saat ini, sebagian besar jurnalis melaporkan kondisi yang semakin buruk. Dalam laporannya, IFJ menyatakan,dari Yunani hingga Indonesia, dan dari Chad sampai ke Peru, Jurnalis menggambarkan situasinya dengan menggunakan istilah seperti genting, bermasalah, mengerikan, lebih buruk, semakin menurun dan penuh pembatasan untuk menggambarkan kebebasan media.
Tiga dari empat jurnalis dalam survei mengatakan mengalami pembatasan resmi, upaya penghalangan atau intimidasi dalam pelaporan terkait Covid-19.
Menurut survei itu, satu dari empat jurnalis mengatakan mereka menghadapi kesulitan yang semakin besar dalam mengakses informasi dari sumber resmi pemerintah. Banyak yang melaporkan mengalami serangan verbal dari politisi. Banyak pula jurnalis yang mengeluhkan keterbatasan mengajukan pertanyaan saat konferensi pers. Begitu pula praktik pembatasan aktivitas jurnalis selama krisis.
Your browser doesn’t support HTML5
“Hasil survei ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dari penurunan kebebasan media dan pembatasan jurnalisme, pada saat dimana akses informasi dan jurnalisme yang berkualitas, sangat dibutuhkan. Jurnalisme adalah kepentingan publik, dan layak mendapat dukungan publik untuk mengakhiri gangguan dan campur tangan politik,” kata Sekretaris Jenderal IFJ, Anthony Bellanger dalam laporan yang dipublikasikan pada 30 April 2020. [ns/em]