Kesadaran akan Perubahan Iklim Meningkat di Tahun 2014

Rumah-rumah hancur akibat topan Hagupit melanda kota Samar, Filipina tengah (8/12). Bencana alam seperti ini adalah sedikit dari banyak tanda perubahan iklim yang terjadi tahun 2014.

Tahun 2014, PBB merilis serangkaian laporan tentang iklim yang semakin lebih pasti menegaskan bahwa suhu planet Bumi menghangat.

Meski berbagai prediksi itu suram, tetapi tahun 2014 juga menghadirkan harapan bahwa masyarakat internasional mulai bertindak untuk menghadapi perubahan iklim.

Topan kuat di Filipina; kekeringan selama tiga tahun di California, Amerika; dan semakin pesatnya es mencair di Antartika. Ini sedikit dari banyak tanda perubahan iklim yang terjadi tahun 2014, menurut Profesor Michael Oppenheimer.

Pengajar ilmu bumi dan hubungan internasional pada Universitas Princeton itu mengatakan kehidupan di planet ini akan kian memburuk jika manusia tidak bertindak untuk memangkas emisi gas rumah kaca ke atmosfir.

"Jika kita tidak bijaksana dalam memutuskan bagaimana mengekang emisi gas rumah kaca, pada akhir abad ini suhu Bumi akan meningkat beberapa derajat Celsius dan mengakibatkan kondisi alam yang belum pernah terjadi dalam jutaan tahun," kata Oppenheimer.

Oppenheimer juga bagian dari tim pakar yang menyusun laporan UN Climate Assessment atau Kajian Iklim PBB, yang ditujukan bagi para pembuat kebijakan dalam mengatasi dampak perubahan iklim

"Karenanya, negara-negara berkewajiban untuk bertindak cepat. Itu sebabnya perhatian sangat dipusatkan pada pertemuan di Lima baru-baru ini dan konferensi penting tahun depan di Paris," tegasnya.

Pertemuan di Lima, Peru, bulan Desember menjadi kerangka bagi konferensi di Paris, di mana negara-negara akan menandatangani perjanjian iklim baru untuk menggantikan Protokol Kyoto yang kedaluwarsa tahun 2012.

Dalam pertemuan di Lima itu, mereka menghasilkan rancangan perjanjian Paris. Sepuluh miliar dollar dalam bentuk Green Climate Fund juga dijanjikan untuk membantu negara-negara miskin menghadapi efek perubahan iklim.

Hasil pertemuan di Lima itu juga membawa terobosan baru -- negara berkembang seperti China dan India kini diwajibkan memangkas emisi pada level negara maju. Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry menuntut tanggungjawab tersebut.

"Lebih dari separuh emisi gas rumah kaca global berasal dari negara-negara berkembang. Jadi mereka juga wajib untuk bertindak," kata Kerry.

Amerika dan China -- dua negara pencemar terbesar di dunia -- juga menghasilkan kesepakatan bersejarah. Amerika berkomitmen untuk memangkas emisi antara 26-28 persen sebelum tahun 2025, sedangkan China berjanji emisi akan turun mulai tahun 2030.

Dalam pidato bulan Desember, Presiden Bank Dunia Jim Young Kim mengatakan kebijakan ekonomi penting dalam menggerakkan masyarakat dunia.

Menurutnya, "tidak seperti banyak perjanjian di masa lalu, perjanjian di Paris itu harus sama-sama mengutamakan transformasi ekonomi sekaligus target pengurangan emisi karbon atau polusi."

Ia mengatakan hal ini tidak bisa lagi ditunda.

"Kita tahu jika kita tidak merespons perubahan iklim, kita tidak akan bisa mengentaskan kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan bersama. Semakin lama kita menunda respons, semakin besar biaya untuk memperbaiki planet dan masa depan anak-anak kita," tambahnya.

September lalu, Jim dan Oppenheimer sama-sama ikut dengan sekitar 400.000 orang lainnya dalam reli People's Climate March di New York. Oppenheimer mengatakan kegiatan itu bisa membantu negara-negara merancang kebijakan iklim baru.

Kata Oppenheimer, "apapun yang dihasilkan di Paris, penting bahwa isu ini dibahas secara berkelanjutan untun memastikan semua negara memenuhi komitmen mereka. Itu artinya warga negara yang aktif dan terlibat harus terus menekan pemerintah mereka."

Dunia tidak bisa lagi menunggu, kata profesor itu, karena tanpa tindakan maka suhu Bumi akan semakin memanas lebih cepat dari masa kapanpun dalam sejarah peradaban.