Meningkatnya kekuatan kelompok Islamis di Mesir yang memicu ketegangan hubungan dengan Israel, meningkatkan perhatian atas kebijakan AS seiring dengan kunjungan Presiden Obama ke Timur Tengah.
KAIRO, MESIR —
Lawatan Presiden Barack Obama ke Israel, Tepi Barat – Palestina dan Yordania pekan ini meningkatkan perhatian atas landasan kebijakan Amerika di kawasan itu – yang menghasilkan kesepakatan damai Israel dan Mesir lebih dari 30 tahun lalu.
Kebangkitan Ikhwanul Muslimin di Mesir telah meningkatkan kewaspadaan tentang komitmen para pemimpin Islam terhadap kesepakatan damai dengan Israel.
Presiden Mohammed Morsi berjanji akan menghormati kesepakatan itu, meskipun Ikhwanul Muslimin sejak lama menentang Israel.
Amr Darrag – pejabat senior dalam sayap politik Ikhwanul Muslimin – Partai Kebebasan dan Keadilan mengatakan, “Perdamaian tentunya harus didasarkan pada keadilan, tetapi Mesir saat ini tidak dalam posisi untuk terlibat konflik dengan siapa pun. Sebagai kekuatan politik yang bertanggungjawab, kami menghormati seluruh perjanjian negara dengan pihak-pihak lain, apakah kami suka atau tidak ketika janji-janji tersebut dibuat”.
Tanda-tanda tidak populernya perjanjian damai itu diantara warga Mesir tampak dari kecaman atas pernyataan Amr Darrag, tidak saja dari kaum fundamentalis – saingan Presiden Morsi, tetapi juga dari kaum sekuler – liberal.
Aktivis politik Wael Khalil mengatakan, “Sebagian kecaman yang ditujukan pada Morsi adalah ia telah membuktikan dirinya terlalu pragmatis. Maksud saya – ini adalah Ikhwanul Muslimin yang menurut saya – merupakan bagian penting politik Mesir yaitu, masalah Palestina dan masalah pendudukan yang merupakan hal paling penting bagi politik Ikhwanul Muslimin”.
Wael Khalil mengatakan isu ini merupakan masalah utama bagi warga Mesir dari berbagai kalangan yang aktif secara politik.
“Ini adalah proses politik bagi kami. Saya ikut berpolitik dalam masalah Palestina, dalam demonstrasi-demonstrasi jalanan dan oposisi yang menentang mantan presiden Hosni Mubarak yang dimulai dengan solidaritas pergolakan, intifada tahun 2000 dan 2002,” tambah Khalil.
Wael Khalil mengakui beberapa warga Mesir mengacaukan gagasan anti-Zionisme dan prasangka terhadap Yahudi.
Sebelum berkuasa, ada rekaman-rekaman video kecaman keras anti-Yahudi yang disampaikan Presiden Morsi, yang kini dikatakannya sebagai kecaman terhadap Zionisme.
Meskipun komunitas Yahudi pernah berkembang di Mesir, sentimen anti Yahudi dan Zionisme kini tampaknya sudah mendarah-daging.
Bekas pejabat inteljen Sameh Al Yazal mengatakan, para politisi sangat mengetahui hal ini.
“Ini merupakan kartu yang banyak dimainkan banyak orang. Kalau anda menyerang Israel, anda akan punya reputasi di jalanan. Orang melakukan hal itu di Mesir karena alasan tersebut,” ujar Yazal.
Tetapi Sameh Al Yazal berpendapat pragmatisme akan mengalahkan retorika, merujuk pada seringnya terjadi kontak antara Israel dan Mesir dalam bidang ekonomi, militer dan politik.
Seperti kelompok liberal dan konservatif pengecam Presiden Morsi, Sameh Al Yazal mengatakan tidak banyak perubahan di Israel sejak pemimpin Islamis itu berkuasa.
Kebangkitan Ikhwanul Muslimin di Mesir telah meningkatkan kewaspadaan tentang komitmen para pemimpin Islam terhadap kesepakatan damai dengan Israel.
Presiden Mohammed Morsi berjanji akan menghormati kesepakatan itu, meskipun Ikhwanul Muslimin sejak lama menentang Israel.
Amr Darrag – pejabat senior dalam sayap politik Ikhwanul Muslimin – Partai Kebebasan dan Keadilan mengatakan, “Perdamaian tentunya harus didasarkan pada keadilan, tetapi Mesir saat ini tidak dalam posisi untuk terlibat konflik dengan siapa pun. Sebagai kekuatan politik yang bertanggungjawab, kami menghormati seluruh perjanjian negara dengan pihak-pihak lain, apakah kami suka atau tidak ketika janji-janji tersebut dibuat”.
Tanda-tanda tidak populernya perjanjian damai itu diantara warga Mesir tampak dari kecaman atas pernyataan Amr Darrag, tidak saja dari kaum fundamentalis – saingan Presiden Morsi, tetapi juga dari kaum sekuler – liberal.
Aktivis politik Wael Khalil mengatakan, “Sebagian kecaman yang ditujukan pada Morsi adalah ia telah membuktikan dirinya terlalu pragmatis. Maksud saya – ini adalah Ikhwanul Muslimin yang menurut saya – merupakan bagian penting politik Mesir yaitu, masalah Palestina dan masalah pendudukan yang merupakan hal paling penting bagi politik Ikhwanul Muslimin”.
Wael Khalil mengatakan isu ini merupakan masalah utama bagi warga Mesir dari berbagai kalangan yang aktif secara politik.
“Ini adalah proses politik bagi kami. Saya ikut berpolitik dalam masalah Palestina, dalam demonstrasi-demonstrasi jalanan dan oposisi yang menentang mantan presiden Hosni Mubarak yang dimulai dengan solidaritas pergolakan, intifada tahun 2000 dan 2002,” tambah Khalil.
Wael Khalil mengakui beberapa warga Mesir mengacaukan gagasan anti-Zionisme dan prasangka terhadap Yahudi.
Sebelum berkuasa, ada rekaman-rekaman video kecaman keras anti-Yahudi yang disampaikan Presiden Morsi, yang kini dikatakannya sebagai kecaman terhadap Zionisme.
Meskipun komunitas Yahudi pernah berkembang di Mesir, sentimen anti Yahudi dan Zionisme kini tampaknya sudah mendarah-daging.
Bekas pejabat inteljen Sameh Al Yazal mengatakan, para politisi sangat mengetahui hal ini.
“Ini merupakan kartu yang banyak dimainkan banyak orang. Kalau anda menyerang Israel, anda akan punya reputasi di jalanan. Orang melakukan hal itu di Mesir karena alasan tersebut,” ujar Yazal.
Tetapi Sameh Al Yazal berpendapat pragmatisme akan mengalahkan retorika, merujuk pada seringnya terjadi kontak antara Israel dan Mesir dalam bidang ekonomi, militer dan politik.
Seperti kelompok liberal dan konservatif pengecam Presiden Morsi, Sameh Al Yazal mengatakan tidak banyak perubahan di Israel sejak pemimpin Islamis itu berkuasa.