Ketua DPR Pastikan Pengkritik DPR Tak akan Dikriminalisasi

  • Fathiyah Wardah

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menolak UU MD3 dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (15/3). (VOA/Fathiyah)

Dewan Perwakilan Rakyat memastikan tidak akan ada kriminalisasi terhadap masyarakat maupun wartawan pasca Undang-undang MD3 yang berlaku.

Meskipun Presiden Joko Widodo menolak menandatangani Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang MD3), namun mulai hari Kamis (15/3) aturan itu tetap berlaku secara otomatis setelah disahkan 30 hari lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sejak diloloskan pada pertengahan Februari lalu, undang-undang ini sudah memicu kehebohan karena sejumlah pasal kontroversial yang menjadikan badan legislatif itu sebagai badan super yang seakan tak bisa diusik. Kontroversi menguat ketika Presiden Joko Widodo menolak menandatanganinya dengan alasan, UU MD3 itu telah meresahkan masyarakat. Presiden juga mengaku tidak memperoleh penjelasan mengenai pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Ketua DPR Bambang Soesatyo (tengah) ketika memberikan keterangan kepada wartawan. (Foto: VOA/Fathiyah)

Kepada wartawan di Jakarta, Kamis (15/3), Ketua DPR Bambang Soesatyo menegaskan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan keluarnya undang-undang tersebut.

"Kami pastikan tidak akan ada rakyat, apalagi wartawan, yang dikriminalisasi akibat Undang-undang MD3 ini," kata Bambang.

Dalam kesempatan terpisah, Hendrik Rosdinar dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) mengatakan masyarakat harus tetap menolak undang-undang MD3 walau sudah berlaku karena mengandung sejumlah pasal kontroversial. Hingga hari ini, petisi online menolak Undang-undang MD3 yang diluncurkan di Change.org sudah didukung lebih dari 205 ribu orang.

Hendrik menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang memulangkan kontroversi itu pada masyarakat, padahal sedianya presiden bisa melakukan dua hal untuk mengoreksi undang-undang MD3 itu yaitu mengeluarkan surat perintah presiden kepada menteri hukum dan ham untuk mengajukan revisi kembali ke DPR. Atau, lanjut Hendrik, jika keadaan dianggap genting, Presiden Joko Widodo dapat menerbitkan Perpu untuk membatalkan Undang-undang MD3.

Baca juga: Revisi UU MD3 Beimplikasi Buruk Pada Proses Demokrasi

Hendrik menambahkan jika Presiden Joko Widodo mengambil satu dari dua opsi tersebut, sudah menunjukkan presiden berpihak kepada rakyat sekaligus memperbaiki kesalahannya karena tidak mampu mengarahkan menteri-menterinya ketika menggarap RUU itu.

Sementara, Ronald Rofiandri dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mengatakan setidaknya ada dua hal yang patut dicemaskan dari berlakunya UU No.2/2018 tentang MD3, yaitu semakin luasnya kekebalan hukum DPR dengan pasal-pasal yang bisa membuat badan itu memperkarakan siapapun yang dinilai merendahkan martabat anggota atau badan legislatif itu. Tanpa pengujian keabsahan hak impunitas itu, semakin besar potensi penyalahgunaan wewenang yang terjadi.

"Dua hal ini sebenarnya sudah menjadi sinyal bagaimana akhirnya relasi antara DPR dengan rakyat atau bahkan konstituen di daerah pemilihan sebenarnya makin berjarak. Jadi di satu sisi MD3 melahirkan sebuah penurunan demokrasi. Kedua adalah melahirkan jarak dengan masyarakat, dengan mereka yang diwakili," ujar Ronald.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mempersilakan pihak-pihak yang menolak Undang-undang MD3 mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,

Yasonna mengatakan, "Kalau masyarakat tidak puas, maka sekarang sudah boleh menggugat karena nomornya sudah ada dan sudah sah menjadi undang-undang."

Your browser doesn’t support HTML5

Ketua DPR Pastikan Pengkritik DPR Tak akan Dikriminalisasi

Sedikitnya ada tiga pasal kontroversial ada dalam Undang-undang MD3, yakni pasal 73, pasal 122 huruk k, dan pasal 245.

Klausul revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 dimasukkan dalam pasal 73 dengan tambahan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang. Pasal 122 huruk k mengatakan Majelis Kehormatan Dewan bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Sementara pasal 245 menyatakan DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum. [fw/em]