Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) oleh Komisi 3 DPR RI menimbulkan reaksi penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, karena berpotensi mengkriminalisasi perempuan, anak dan kelompok rentan.
Selain itu, organisasi Pers AJI juga menolak RUU KUHP serta Revisi UU MD3 yang berpotensi mengancam kerja pers serta kebebasan mengemukakan pendapat.
Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer menyatakan penolakannya atas Rancangan Undang-Undang KUHP, yang berpotensi mengkriminalkan kebebasan berekspresi maupun kebebasan pers, salah satunya pada poin mengenai penghinaan terhadap pemerintah. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan Revisi Undang-Undang MD3, yang dirasa menghalangi masyarakat maupun pers mengkritisi kinerja DPR.
“Memang kami tidak sepakat adanya penghinaan-penghinaan, ujaran-ujaran kebencian, hate speech. Kami sangat tidak sepakat, tapi perlu untuk dipertimbangkan lagi, dibahas lagi lebih dalam. Jadi, saya menolak. Ukuran-ukuran itu kan yang agak susah untuk ditetapkan, apa yang kemudian disebut penghinaan, apa yang disebut kritik dan sebagainya, seperti itu yang perlu diperjelas lagi. Ingat, reformasi 1998 kita sudah melahirkan Undang-Undang Pers nomor 40 Tahun 1999. Ketika aturan-aturan semacam ini diberlakukan lagi, saya pikir itu kontraproduktif dengan apa yang sedang kita lalui di masa reformasi dulu,” kata Eben Haezer.
Your browser doesn’t support HTML5
Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang KUHP juga disuarakan oleh sejumlah elemen perempuan dan kelompok marginal, yang tergabung dalam Jaringan Kerja Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (Jangkar KPtPA) Jawa Timur. Sekitar 100 orang aktivis melakukan aksi penolakan RUU KUHP di Gedung DPRD Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (15/2).
Menurut Koordinator Jangkar KPtPA Jawa Timur, Nurul Kencono Endah Triwijati, rencana pengesahan RUU KUHP akan berpotensi mengancam kebebasan menyampaikan pendapat, sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan memungkinkan kriminalisasi dan persekusi pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan di masyarakat.
“Kami merasa bahwa sekalipun ada beberapa hal yang sudah terakomodir, tetapi persoalan-persoalan yang akan dihadapi oleh perempuan dan anak, maupun kelompok rentan, difabel, LBGT misalnya - difabel itu intelektual maupun yang fisik - itu kompleksitas posisi tawar mereka yang rendah di masyarakat karena kultur, karena strukturnya itu tidak terakomodasi disini. Mereka justru akan terkriminalisasi. Kalau itu terkriminalisasi, maka akan mucul persoalan yang lebih panjang lagi. Perkawinan itu akan makin besar karena orang tua makin khawatir ini anak nanti bisa masuk penjara. Kalau perkawinan anak makin besar, maka kemungkinan untuk anak perempuan putus sekolah itu makin besar,” kata Nurul Kencono Endah Triwijati.
Triwijati menambahkan, RUU KUHP ini harus dipastikan tidak dijadikan sebagai alat politik untuk tujuan tertentu, sehingga Presiden Joko Widodo diminta mendengarkan semua aspirasi dan suara dari masyarakat yang merasa terancam dengan peraturan perundangan yang tidak berpihak pada rakyat.
“Pemerintah harus sangat berhati-hati karena ini isu politik, tahun politik, orang sangat bermain di situ. Makanya kami tidak mau ini menjadi alat dagangan politik. Kemudian, pak Jokowi bersama dengan semua departemen itu yang berkaitan kesini harus sangat mendengarkan juga lembaga-lembaga atau masyarakat sipil. Melibatkan itu bukan hanya mengundang, didengarkan, selesai, yang ditulis berbeda, tidak bisa kayak gitu itu,” lanjutnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Wakil Ketua Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur, Miftahul Ulum mengatakan, pihaknya memastikan akan meneruskan aspirasi masyarakat Jawa Timur yang menghendaki penyempurnaan RUU KUHP kepada DPR RI, meski pihaknya tidak pada kapasitas menyetujui atau tidak terhadap aspirasi dari masyarakat yang menolak RUU KUHP.
Baca juga: Revisi KUHP akan Kriminalisasi Perselingkungan dan Hubungan Seks Sesama Jenis
“Karena ini aspirasi masyarakat kami di Jawa Timur, apalagi ini dari teman-teman pemerhati kaum perempuan dan anak, ini juga merupakan pejuang-pejuang di Jawa Timur. Tentunya kami juga berkewajiban untuk menyampaikan aspirasi ini kepada teman-teman di pemerintah pusat, khususnya kepada teman-teman DPR RI yang karena ini persoalan pembahasan Undang-Undang yang dianggap oleh teman-teman ini ada bebrapa pasal yang harus disempurnakan untuk mengakomodir semua kepentingan dan kelompok masyarakat yang beraneka ragam. Maka, saya berharap mudah-mudahan ini harus didengar oleh teman-teman di DPR RI,” jelas Miftahul Ulum. [pr/lt]