Koalisi Masyarakat Sipil menemukan kejanggalan dalam proses peradilan tragedi Kanjuruhan. Proses hukum diduga sengaja dirancang untuk meringankan hukuman bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab, dan tidak berpihak kepada korban.
Kepala Divisi Hukum, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy, memaparkan beberapa temuan yang dinilai janggal itu antara lain adanya narasi bahwa penanganan di stadion Kanjuruhan sesuai prosedur operasional. Padahal faktanya, kata dia, aparat melakukan kekerasan dan kekuatan berlebih dengan menggunakan gas air mata sehingga mengakibatkan banyak korban jiwa dan luka.
“Bahwa proses hukum ini secara keseluruhan sama sekali tidak menunjukkan fakta sebenarnya yang dapat mampu mengungkapkan tragedi Kanjuruhan secara utuh dan jelas. Proses hukum ini juga diduga dirancang hanya untuk memberi penghukuman yang ringan terhadap pelaku, dan melindungi aktor lain dari proses peradilan,” ujar Andi.
Andi menyebut terdapat pula upaya menyudutkan suporter terkait temuan botol berisi minuman keras. Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Malang membantah temuan itu dengan mengatakan botol-botol itu merupakan obat untuk penyakit hewan ternak.
KontraS juga mengidentifikasi adanya ancaman kekerasan dan intimidasi terhadap keluarga korban maupun saksi. Serta, proses rekonstruksi peristiwa yang tidak dilakukan di Stadion kanjuruhan, melainkan di Lapangan Mapolda Jawa Timur.
Lebih lanjut Andi menuturkan, fakta hukum adanya upaya melindungi para pelaku kejahatan terungkap dalam persidangan yang menyebut peran sejumlah aparat di lapangan yang turut melakukan kekerasan. Namun, ironisnya tidak diproses secara hukum.
“Proses hukum yang berjalan tidak ikut menyeret anggota dari Kasat Samapta Polres Malang, dan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur, yang diperintah untuk melakukan penembakan gas air mata. Termasuk kepada Danki Brimob Madiun dan anggotanya,” ujarnya.
BACA JUGA: Vonis Tragedi Kanjuruhan Kecewakan Keluarga Korban, Ciderai Asas KeadilanAndi berpendapat aparat hukum tidak mendalami kesaksian serta adanya bukti berupa rekaman CCTV dalam kasus tersebut. Padahal dua instrumen itu, katanya, dalam menjerat pelaku kejahatan dengan hukuman yang berat.
“Temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) berkaitan dengan adanya dugaan upaya Kepolisian mengganti rekaman CCTV dengan rekaman yang baru, dan CCTV yang ada di stadion dilarang oleh aparat kepolisian untuk di-download. Namun, temuan ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh polisi dengan melakukan penyelidikan atau penyidikan,” tambahnya.
Temuan sejumlah fakta kejanggalan selama proses hukum tersebut akan dijadikan dasar Koalisi Masyarakat Sipil untuk membuat laporan ke Komisi Yudisial.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mendesak Kapolri meninjau kembali kasus ini karena ditemukan sejumlah kejanggalan dan ketidak seriusan selama proses penyidikan.
“Kita melaporkan sejak awal ke Komisi Yudisial, meminta pemantauan dan lain-lain. Tapi, juga ini sebenarnya problemnya dari mulai penyidikan, jadi bahan mentah yang dibawa ke pengadilan juga sangat mentah. Jadi, kita mendesak Kapolri untuk mereview kembali, melihat kembali dan melakukan penyidikan ulang terjadap perkara ini,” kata Isnur. [pr/ah]