Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat peningkatan kasus pemerkosaan pada 2012, terutama untuk pemerkosaan berkelompok.
JAKARTA —
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada peningkatan kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik pada 2012, yaitu sebesar 4,35 persen atau menjadi 4.293 kasus. Jenis dan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi ialah kekerasan seksual (2.521 kasus) diantaranya pemerkosaan (840 kasus) dan pencabulan (780 kasus)
Komisioner Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri dalam keterangan pers di kantornya, Kamis (7/3), menjelaskan bahwa Komnas Perempuan menemukan 14 kasus kekerasan di ranah publik yang paling menonjol adalah kasus perkosaan berkelompok (gang rape) dengan usia korban antara 13-18 tahun dengan latar belakang pendidikan menengah.
Salah satu kasusnya kata Arimbi adalah pemerkosaan berkelompok dan pembunuhan atas seorang mahaiswi perguruan tinggi Islam di Jakarta. Kasus lainnya yaitu kekerasan seksual di transportasi publik Jakarta yang terus muncul, ujarnya.
Data-data ini merupakan bagian dari catatan tahunan yang dikeluarkan Komnas Perempuan dalam menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh tanggal 8 Maret.
Lembaga ini mencatat sepanjang 2012 ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan di ranah personal menjadi yang paling banyak terjadi dengan 8.315 kasus.
“Di ranah personal tetap lebih besar, yaitu 66 persen, artinya relasi personal termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik KDRT saat pacaran tetap tinggi dalam menyumbang jenis kekerasan. Kekerasan di ranah komunitas tinggi. Kekerasan oleh negara diurutan ketiga,” ujar Arimbi.
Komisioner Komnas Perempuan Ninik Rahayu mengatakan masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan berulangnya kasus serupa dari tahun ketahun disebabkan karena adanya stagnasi sistem hukum.
Menurutnya, saat ini masih banyak aturan-aturan hukum yang tidak kondusif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan seperti aturan dalam undang-undang perkawinan yang memosisikan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan.
Selain itu, aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kata Ninik, hingga kini juga belum sepenuhnya merespon kebutuhan perempuan korban ketika mengalami kekerasan seksual.
Menurutnya, Komnas Perempuan menemukan15 bentuk kekerasan terhadap perempuan, tetapi yang diatur dalam KUHP hanyalah pemerkosaan, pencabulan dan perbuatan tidak menyenangkan sedangkan bentuk-bentuk lain itu tidak ada aturannya.
“Aturan-aturan hukum masih kurang pelaksanaannya atau yang tidak kondusif, ditambah lagi struktur hukumnya. Aparat kita juga tidak memiliki pemahaman yang cukup soal HAM dan gender. Ini menjadi persoalan yang sangat luar biasa,” ujar Ninik.
“Tidak sedikit perempuan yang seharusnya merupakan korban kekerasan justru diposisikan sebagai tersangka. Atau aparat hukum tidak memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan kemanusiaan, dan justru menyelesaikannya secara mediasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan korban.”
Asisten Urusan Ekonomi Perempuan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulikanti Agusni mengakui masih banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait perlindungan terhadap perempuan yang belum efektif.
“Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dalam implementasinya belum, itu semua merupakan bagian dari dampak kita dari reformasi dan demokrasi, adanya sentralisasi menjadi desentralisasi sehingga perlu proses,” ujar Sulikanti.
Komisioner Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri dalam keterangan pers di kantornya, Kamis (7/3), menjelaskan bahwa Komnas Perempuan menemukan 14 kasus kekerasan di ranah publik yang paling menonjol adalah kasus perkosaan berkelompok (gang rape) dengan usia korban antara 13-18 tahun dengan latar belakang pendidikan menengah.
Salah satu kasusnya kata Arimbi adalah pemerkosaan berkelompok dan pembunuhan atas seorang mahaiswi perguruan tinggi Islam di Jakarta. Kasus lainnya yaitu kekerasan seksual di transportasi publik Jakarta yang terus muncul, ujarnya.
Data-data ini merupakan bagian dari catatan tahunan yang dikeluarkan Komnas Perempuan dalam menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh tanggal 8 Maret.
Lembaga ini mencatat sepanjang 2012 ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan di ranah personal menjadi yang paling banyak terjadi dengan 8.315 kasus.
“Di ranah personal tetap lebih besar, yaitu 66 persen, artinya relasi personal termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik KDRT saat pacaran tetap tinggi dalam menyumbang jenis kekerasan. Kekerasan di ranah komunitas tinggi. Kekerasan oleh negara diurutan ketiga,” ujar Arimbi.
Komisioner Komnas Perempuan Ninik Rahayu mengatakan masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan berulangnya kasus serupa dari tahun ketahun disebabkan karena adanya stagnasi sistem hukum.
Menurutnya, saat ini masih banyak aturan-aturan hukum yang tidak kondusif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan seperti aturan dalam undang-undang perkawinan yang memosisikan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan.
Selain itu, aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kata Ninik, hingga kini juga belum sepenuhnya merespon kebutuhan perempuan korban ketika mengalami kekerasan seksual.
Menurutnya, Komnas Perempuan menemukan15 bentuk kekerasan terhadap perempuan, tetapi yang diatur dalam KUHP hanyalah pemerkosaan, pencabulan dan perbuatan tidak menyenangkan sedangkan bentuk-bentuk lain itu tidak ada aturannya.
“Aturan-aturan hukum masih kurang pelaksanaannya atau yang tidak kondusif, ditambah lagi struktur hukumnya. Aparat kita juga tidak memiliki pemahaman yang cukup soal HAM dan gender. Ini menjadi persoalan yang sangat luar biasa,” ujar Ninik.
“Tidak sedikit perempuan yang seharusnya merupakan korban kekerasan justru diposisikan sebagai tersangka. Atau aparat hukum tidak memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan kemanusiaan, dan justru menyelesaikannya secara mediasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan korban.”
Asisten Urusan Ekonomi Perempuan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulikanti Agusni mengakui masih banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait perlindungan terhadap perempuan yang belum efektif.
“Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dalam implementasinya belum, itu semua merupakan bagian dari dampak kita dari reformasi dan demokrasi, adanya sentralisasi menjadi desentralisasi sehingga perlu proses,” ujar Sulikanti.