Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah menjelaskan selama 2016-2020 kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama. Disusul oleh kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan kekerasan lainnya yang terkait dengan relasi kekerabatan.
"Kami selama 17 tahun kalau dilihat di ranah rumah tangga dan ranah personal ini ada 544.452 kasus yang dilaporkan dalam berbagai jenis, dari kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, kekerasan mantan pacar, dan kekerasan mantan suami," kata Aminah
Aminah menambahkan selama lima tahun terakhir saja terdapat 36.356 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 10.669 kasus di ranah personal.
Menurut Aminah, pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang paling dipakai untuk menangani kasus adalah larangan untuk melakukan perbuatan kekerasan psikis (pasal 45), kekerasan seksual (pasal 46 dan 47), kekerasan fisik (pasal 44), pemberantan kekerasan seksual (pasal 48) dan penelantaran (pasal 49).
Aminah mengatakan hambatan terbesar dalam hal memutus rantai kekerasan dan memulihkan korban adalah korban mencabut laporan, penafsiran tentang status pernikahan (perkawinan tidak tercatat), kurang alat bukti, perspektif aparat, belum maksimalnya penjatuhan pidana tambahan berupa pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu dan mengikuti program konseling, belum maksimalnya penerapan dan mekanisme kerja perintah perlindungan serta budaya yang masih menilai kekerasan dalam rumah tangga adalah aib dan merupakan hal privat.
Lima Faktor
Di samping itu, lanjut Aminah, ada lima faktor yang memerlukan perhatian khusus pihak-pihak terkait yakni pertama, kriminalisasi korban, dalam arti korban KDRT malah dilaporkan balik oleh pelaku.
Faktor kedua adalah masih terus berlanjutnya kekerasan oleh mantan suami, yang menunjukkan bahwa KDRT tidak berakhir meski pasangan sudah bercerai.
Faktor ketiga adalah konflik pengasuhan anak. Oleh karena itu, Aminah meminta pengadilan bisa memastikan orang tua yang bercerai memiliki rencana pengasuhan anak secara bersama-sama sehingga anak tidak dijadikan alat untuk kekerasan.
Faktor keempat adalah kekerasan dalam pernikahan siri, dan yang kelima adalah pola penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga yang memulihkan korban.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Penerapan UU Penghapusan KDRT sangat dipengaruhi oleh kuatnya pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan rumah tangga yang tidak perlu diungkapkan kepada publik. Hal ini ikut membuat aparat penegak hukum senantiasa mendorong agar tujuan UU Penghapusan KDRT adalah untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Modus KDRT
Menurut Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Komisaris Polisi Ema Rahmawati, modus perilaku KDRT antara lain menampar, mendorong, memukul, menghina, mencaci maki, pemaksaan hubungan seksual, pencabulan, eksploitasi seksual hingga penelantaran.
"Motifnya ada secara ekonomi yaitu perebutan harta gono gini. Kemudian keran keadaan rumah tangga, perselingkuhan, perebutan hak asuh, balas dendam penyalahgunaan narkoba, adanya perbedaan karakter atau budaya, gangguan biologis, atau aktualisasi diri, adanya batasan-batasan berlebihan, tidak ingin disaingi, dan lain-lain," ujar Emma.
Hingga Juli, Sudah 3.302 Kasus KDRT Ditangani Polisi
Ema menambahkan hingga Juli tahun ini saja, kasus KDRT yang ditangani oleh kepolisian sebanyak 3.302 kasus. Untuk mekanisme penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak sudah ada hingga tingkat Kepolisian Resor.
Kendala yang dihadapi polisi dalam menangani kasus KDRT, menurut Ema, adalah sumber daya manusia yang terbatas, tingkat kemampuan para penyidik, pemahaman para penyidik mengenai UU Penghapusan KDRT.
BACA JUGA: Catatan Tahunan Komnas Perempuan Soroti Peningkatan Kekerasan terhadap PerempuanEma menyebutkan sebelum membuat laporan pengaduan, korban diminta lebih dulu berkonsultasi dengan Unit PPA di kepolisian setempat untuk mengetahui kebutuhan korban saat dia akan melapor ke polisi. Saat konsultasi itulah polisi bisa memberikan akses terhadap pelayanan medis. Jika masih dalam keadaan trauma, polisi akan merujuk korban ke layanan psikologis.
Di Unit PPA tersebut, juga bisa dibahas pasal apa yang akan dikenakan terhadap pelaku kekerasan sehingga saat membuat laporan tidak ada kekeliruan penerapan pasal.
Ema mengatakan tantangan dalam penanganan kasus KDRT adalah hanya korban yang menjadi saksi kunci. Mengingat hanya korban dan pelaku yang mengetahui kekerasan itu, dibutuhkan surat visum untuk menjadi alat bukti penanganan kasus.
Your browser doesn’t support HTML5
Kesulitan lainnya lanjut Ema adalah keterlambatan korban melapor, kemungkinan karena ada alasan khusus yang menyebabkan korban tidak langsung melapor ke polisi setelah mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga bukti, misalnya kekerasan fisik, bisa hilang. Bisa jadi terlambat melapor karena ada ancaman dari pelaku atau pelaku adalah orang terdekat.
Tantangan lainnya, korban sering mencabut laporan karena kebutuhan ekonomi dan memilih untuk bercerai. Juga terdapat perbedaan penafsiran terhadap undang-undang sehingga penanganan menjadi terhambat.
Keterbatasan dokter, psikolog, dan pendamping juga turut menjadi masalah dalam penyidikan kasus KDRT, sehingga walhasil penyidik meminta keterangan dari ahli pidana umum yang belum tentu pas dalam penanganan kasus. [fw/em]