Menurut Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan Khariroh Ali, jumlah kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama ini terus meningkat selama sepuluh tahun terakhir. Kebijakan diskriminatif tersebut, kata Khariroh, telah membatasi ruang gerak perempuan dan kelompok-kelompok minoritas.
Kebijakan diskriminatif itu, kata Khariroh, di antaranya mengharuskan perempuan mengenakan jilbab, larangan keluar malam dan juga pembatasan terhadap kelompok-kelompok minoritas agama seperti Syiah, Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lainnya.
Kebijakan diskriminatif tersebut, lanjutnya, bukan hanya ditemukan dalam peraturan daerah saja tetapi juga dalam bentuk surat edaran baik itu bupati maupun walikota.
Khariroh menjelaskan sejumlah faktor yang menyebabkan kebijakan diskriminatif terus bertambah, di antaranya lemahnya kontrol dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah terkait regulasi yang tidak sejalan dengan konstitusi.
Dia mengatakan pengertian atau pemahaman mengenai diskriminasi masih sangat lemah di kalangan legislatif maupun eksekutif.
Your browser doesn’t support HTML5
“Misalnya perempuan dilarang keluar malam tanpa ditemani oleh muhrimnya, nah itu kan mereka (pemerintah) seolah-olah melihatnya itu kan bagus untuk melindungi perempuan, supaya perempuannya tidak mengalami kekerasan dan sebagainya.
Tetapi sebenarnya bukan itu masalahnya. Harusnya sebagai pemda bukan membatasi perempuan tetapi seharusnya menciptakan situasi/kondisi yang di manapun orang misalnya keluar malam merasa aman dan rasa amannya dijamin oleh negara.
Sangat merugikan dan mendiskriminasi yang akhirnya akan berdampak kepada akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi.
Misalnya perda berjilbab, negara memaksakan seseorang untuk menggunakan yang merupakan ranah privat, harusnya tidak dicampuri oleh negara,” ujar Khariroh.
Khariroh menambahkan Komnas HAM menemukan kebijakan diskriminatif ini terbanyak berada di Jawa Barat, Sumatera Barat dan Aceh.
Dia juga menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini yang melarang pemerintah pusat membatalkan peraturan daerah (perda) yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi ini tambahnya dikhawatirkan akan semakin terus menambah kebijakan yang diskriminatif.
Sekarang ini, kata Khariroh, ruang pengujian perda hanya tertumpu pada Mahkamah Agung dan legislatif. Sayangnya, mekanisme judicial review di Mahkamah Agung menjadi persoalan sendiri bagi pemenuhan akses keadilan pada masyarakat.
Pasalnya, ia menilai, persidangan yang dilakukan adalah persidangan berkas, sehingga tidak ada ruang untuk memberikan argumentasi sehubungan dengan pelanggaran atau inskonstitusionalnya sebuah perda. Khariroh mengatakan hingga kini lembaganya terus melakukan komunikasi, memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait kebijakan diskrimatif ini.
“Kita juga melakukan intervensi, menyusun pedoman, indikator bagaimana menyusun kebijakan yang adil gender, konstitusional dan tidak diskriminatif,” pungkas Khariroh.
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Wahyu Hartono mengatakan upaya menghapus diskriminasi dan kekerasan berberbasis gender tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, namun perlu melibatkan semua pihak termasuk masyarakat maupun pemerintah daerah. [fw/uh]