Bagi I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, salah satu Direktur di perusahaan plat merah PT Wijaya Karya, ada perbedaan yang jelas antara iklim bisnis di perusahaan multi-nasional dan nasional. Ashkara pernah merasakan bekerja di dua lingkungan yang berbeda dan oleh karenanya bisa merasakan sendiri bagaimana perbedaan itu. Dia menceritakan pengalamannya di depan peserta diskusi Ekonomi Bebas Korupsi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Kamis (3/11) siang.
Menurut Ashkara, perusahaan itu bisa diibaratkan seperti hewan yang memiliki insting. Jika lapar, mereka akan makan. Jika tidak tersedia makanan, akan mencari, dan jika tidak ada apapun yang dimakan dia akan memakan hewan lainnya. Lingkungan bisnis, kata Ashkara, bertindak seperti kebun binatang. Bagaimana hewan bertingkah laku, akan sangat ditentukan oleh cara kebun binatang itu dikelola. Di sektor swasta Indonesia, ada banyak hal yang belum diatur sehingga tidak dapat ditindak secara hukum meskipun itu bisa dikategorikan sebagai korupsi.
“Saya bilang animal instinct, kita akan melakukan hal yang sama atau yang mudah untuk mendapatkan bisnis. Tetapi bukan berarti kita melanggar aturan, karena aturan yang dilanggar itu kadang nggak ada. Tetapi itu termasuk korupsi. Secara umum di korporasi seperti itu tergantung pada proses bisnis, kepada keterbukaan, kepada aturan yang ditetapkan oleh negara,” ujar Ashkara.
Peneliti dan dosen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Dr. Rimawan Pradiptyo membenarkan bahwa ada banyak sektor yang belum diatur secara jelas. Beberapa di antaranya adalah sektor swasta nasional, swasta multi-nasinal dan lembaga nirlaba. Rimawan menyebutkan, di sektor-sektor ini ada area gelap karena lembaga negara tidak bisa menindak jika terdapat tindakan korupsi, baik itu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rimawan memaparkan, bentuk korupsi di swasta antara lain adalah masalah perijinan, pengadaan barang dan jasa, politik uang, penyuapan dan pasal siluman. Pasal siluman adalah pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk atas ke naskah, atas peran pihak swasta. Tidak hanya itu, pasal semacam ini bahkan bisa muncul dalam produk hukum di bawahnya seperti Peraturan Menteri.
“Ini yang aneh di Indonesia, di negara lain tidak boleh ada asosiasi pengusaha atau pedagang. Di Indonesia sejauh mata memandang ada saja. Padahal asosiasi pedagang, pasti menciptakan kartel, teorinya sudah ada sejak Adam Smith. Pengusaha itu jarang berkumpul, tetapi kalau sudah kumpul, yang akan dilakukan pasti adalah manipulasi harga untuk merugikan konsumen, untuk mengeksploitasi pasar. Pertanyaannya adalah, mengapa kemudian seluruh kementerian dan lembaga itu paling senang kalau berurusan dengan asosiasi,” kata Rimawan.
Rimawan menyoroti peran pemerintah dan DPR dalam kaitan penyusunan RUU. Seharusnya, hanya ada dua pihak yang bisa mengusulkan sebuah RUU, yaitu pemerintah dan DPR. Tetapi menurutnya, ada RUU yang merupakan usulan dari sektor swasta. Pakar ekonomi korupsi ini mengatakan tidak seharusya kalangan bisnis menawarkan produk aturan hukum, baik ke kementerian maupun lembaga. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakjelasan mengenai siapa penentu aturan dan siapa pihak yang seharusnya menerima aturan itu, yaitu sektor swasta.
Your browser doesn’t support HTML5
Saidah Sakwan, Komisioner KPPU yang juga berbicara dalam diskusi ini membeberkan beberapa bentuk kartel swasta yang merugikan konsumen. Misalnya kartel di sektor penyediaan daging sapi dan operator layanan selular. Dalam penyelidikan lebih dalam diketahui, perusahaan-perusahaan swasta di kedua sektor itu saling bekerja sama untuk menangguk untung lebih besar. Kartel sapi bersama-sama mengatur pasokan di pasar sehingga harga daging terus tinggi. Sedangkan kartel seluler, menetapkan harga layanan yang terlalu tinggi. Saidah menilai, pemerintah harus menciptakan iklim bisnis yang kompetitif untuk menghindari korupsi di sektor swasta.
“Lagi-lagi, regulasi di Indonesia ini sering digunakan oleh pelaku usaha untuk kepentingan mendistorsi pasar. Apakah kita bisa, dengan upaya yang sangat besar, hukum persaingan serta hukum dan kebijakan persaingan usaha ini, bisa membunuh praktek korupsi? Kami yakin kalau industrinya kompetitif peluang untuk korupsi itu mungkin bisa dihilangkan. Karena memang tidak ada peluang lagi,” ujar Saidah.
Gunarwanto dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam diskusi ini sempat memaparkan hasil kerja lembaga tersebut. Menurutnya, pemeriksaaan BPK pada semester pertama 2016 menunjukkan bahwa dari seluruh entitas pengelola keuangan negara, kerugian negara atau uang negara yang sudah hilang mencapai Rp 1,92 triliun. Potensi kerugian negara tercatat Rp 1,67 triliun, sementara kekurangan penerimaan, atau uang negara yang mestinya masuk ke kas tetapi belum masuk, mencapai Rp 27,03 triliun. [ns/lt]