Militer Thailand kini menghadapi serangkaian cemooh publik atas dugaan masalah keamanan dan korupsi pasca penembakan massal oleh seorang tentara awal bulan ini, mengoyak slogan sebagai penjaga perdamaian dan ketertiban negara.
Para pengamat mengatakan pukulan terbaru itu akan meningkatkan kampanye mereka yang selama ini mengkritisi militer karena kekuatan politiknya yang terlalu besar, dan ragu dengan janji panglima militer Apirat Kongsompong yang akan melakukan reformasi pasca pembantaian itu.
Penembakan massal yang dilakukan oleh Sersan Mayor Jakrapanth Thomma pada 8 Februari lalu di dekat sebuah pangkalan militer di propinsi Nakhon Ratchasima, di Thailand utara, baru berakhir keesokan harinya pada 9 Februari. Penembakan itu menewaskan 30 orang, termasuk pelaku, dan melukai 58 lainnya. Insiden ini merupakan aksi penembakan oleh satu orang bersenjata yang menelan korban paling banyak dalam sejarah Thailand.
BACA JUGA: Penembakan Massal oleh Tentara yang Marah Tewaskan 26 Orang di ThailandHanya beberapa jam sebelum penembakan itu, Thomma telah mengunggah kecaman di dunia maya tentang bagaimana ia ditipu oleh seorang perwira senior dan ibu mertua pejabat itu dalam sebuah transaksi real-estat. Setelah menembak perwira itu dan ibu mertuanya, Thomma diduga mencuri tiga senapan serbu dan dua senapan mesin dari gudang senjata di pangkalan itu, lalu mencuri sebuah truk tentara yang dibawanya ke sebuah kuil Budha, dan kemudian ke pusat perbelanjaan di tengah kota itu.
Setelah melakukan berbagai upaya selama beberapa jam, polisi akhirnya menembak mati Thomma, yang membarikade dirinya dengan sejumlah sandera di lantai basement pusat perbelanjaan itu.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand Khongcheap Tantravanich mengatakan penembakan itu dapat merusak kepercayaan sebagian warga Thailand terhadap militer, tetapi menambahkan bahwa sebagian besar warga tidak menyalahkan institusi itu. [em/lt]