Mahkamah Agung Amerika Serikat hari Selasa (26/6) dengan selisih suara tipis mengukuhkan larangan berkunjung ke Amerika oleh pemerintahan Trump bagi warga dari lima negara berpenduduk mayoritas Muslim, dan menyerahkan kewenangan kepada Presiden Donald Trump dalam menegakkan salah satu kebijakannya yang paling kontroversial itu.
Dalam keputusan 5-4 (5 hakim agung menudukung dan 4 hakim agung menolak), mahkamah memutuskan bahwa presiden memiliki kewenangan sesuai undang-undang imigrasi Amerika untuk membatasi masuknya warga dari negara-negara asing dengan alasan keamanan nasional, seperti yang dikatakan oleh pemerintahan Trump.
Presiden “telah secara sah melaksanakan keleluasaan yang diberikan kepadanya di bawah Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan untuk menangguhkan masuknya orang asing ke Amerika Serikat,” tulis Hakim Agung John Roberts, yang menyampaikan pendapat mayoritas.
Presiden “tidak diragukan lagi telah memenuhi” persyaratan sesuai undang-undang bahwa masuknya orang asing tertentu “akan merugikan kepentingan Amerika Serikat,” tulis Roberts.
Roberts menulis bahwa para penggugat dalam kasus ini – yakni negara bagian Hawaii, Asosiasi Muslim Hawaii dan tiga penduduk negara bagian itu – gagal menunjukkan bahwa larangan masuk ke Amerika itu “melanggar” klausul Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melarang tindakan lebih menyukai satu agama dari yang lain.
Empat Hakim Federal Sampaikan “Pendapat Berbeda”
Secara tidak mengherankan, keempat hakim liberal tidak setuju dengan keputusan Selasa itu.
Hakim Sonia Sotomayor menyamakan keputusan itu dengan keputusan Mahkamah Agung tahun 1944 yang menegaskan otorita pemerintah Amerika untuk menempatkan warga Amerika keturunan Jepang di kamp-kamp internir militer selama Perang Dunia Kedua. “Sejarah tidak akan menyetujui putusan keliru hari ini’ ujar Sotomayor.
Berdasarkan larangan perjalanan yang dikeluarkan September 2017 setelah beberapa pengadilan memblokir dua keputusan sebelumnya, maka warga dari lima negara mayoritas berpenduduk Muslim – yaitu Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman – demikian pula sejumlah pejabat Korea Utara dan Venezuela – dilarang memasuki wilayah Amerika.
Chad, yang juga merupakan salah satu negara berpenduduk mayoritas Muslim, sebelumnya juga masuk dalam daftar itu. Tetapi Chad kemudian dicabut pada April lalu ketika pemerintah Amerika mengatakan negara itu telah mematuhi syarat-syarat saling-bagi informasi yang diharuskan.
Keputusan MA Akhiri Perdebatan Panjang
Keputusan itu mengakhiri perdebatan sengit selama hampir 17 bulan antara pemerintah yang bertekad membela perintah larangan perjalanan itu dengan alasan keamanan nasional dan otorita eksekutif, dengan para pengkritik yang menilai larangan itu sebagai keputusan yang secara ideologis diilhami dari “larangan bagi warga Muslim.”
Dalam sebuah pernyataan, Trump menyebut keputusan itu sebagai “kemenangan luar biasa bagi rakyat dan konstitusi Amerika.” [lt/em/al]