Mahasiswa Internasional Gelar Karya Seni di Yogyakarta

  • Munarsih Sahana

Saul Tellez Tajeda asal Mexico di depan karya batiknya yang bergaya kontemporer. (Foto: VOA/Munarsih Sahana)

Sebelas mahasiswa internasional penerima beasiswa Dharmasiswa dari pemerintah Indonesia memamerkan karya seni mereka di kampus Institut Seni Indonesia, ISI Yogyakarta. Karya mereka berupa batik, lukisan, topeng, instalasi hingga pertunjukan.

Saul Tellez Tajeda dari Mexico menerima beasiswa Dharmasiswa pada tahun 2016-2017, namun memperpanjang masa tinggalnya selama satu tahun untuk belajar batik. Merasa tertantang untuk belajar lebih serius, Saul belajar batik bukan hanya dari dosen ISI tetapi juga belajar di sekitar 20 pusat pembuatan batik di Yogyakarta termasuk di pedesaan.

Saul mengatakan ia sangat ingin menjadi disainer dan pengusaha batik serta mengajar batik di Meksiko setelah ia pulang akhir Agustus 2018. Dalam belajar batik, Saul mengaku kagum dengan teknik membatik. Saul memajang sejumlah karyanya yang berupa batik kontemporer dan selendang bermotif klasik.

“Saya kaget tentang teknik membatik karena mereka bisa mendapatkan banyak motif hanya dengan satu canting dan malam (lilin) dan kualitas karyanya itu sangat bagus. Saya ingin mencampur budaya negeri saya dengan budaya Indonesia, belajar perspektif yang ada di sini. Perspektif tentang bagaimana orang Indonesia mengekspresikan batik. Batikku tentang itu, mencampurkan budaya Meksiko dan Indonesia,” ujar Saul.

Zarinka Soiko asal Ukraina bersama batik berbentuk lingkaran hasil karyanya. (Foto: VOA/Munarsih Sahana)

Karya batik juga dibuat oleh Zarinka Soiko dari Ukraina. Selain batik ia juga belajar street art, mural dan seni kayu selama 1 tahun. Belajar seni dan budaya di Indonesia, Zarinka merasa menjadi lebih terbuka dengan berbagai hal, termasuk pengaruh Indonesia terhadap karya-karyanya.

“Sebenarnya saya tidak bermaksud membuat motif berbentuk bulat tetapi selalu saja muncul lingkaran. Di negara saya Ukraina saya lebih banyak membuat karya berbentuk geometri dengan banyak sudut. Di sini di Indonesia saya mengubahnya ke bentuk lingkaran. Saya menjadi lebih toleran terhadap berbagai hal, dan saya juga belajar tentang banyak hal di sini,” tutur Zarinka.

Karya-karya lain yang dipajang dalam pameran selama lima hari di Galeri Fadjar Sidik kampus ISI Yogyakarta adalah lukisan, patung, topeng dan karya instalasi. Menurut Heri Abi Burachman Hakim dari bagian Kerjasama ISI, pameran bersama ini pertama kali diselenggarakan. Sebelumnya mereka cenderung menggelar pameran tunggal dan pertunjukan individual.

“Sebetulnya fokus pameran ini untuk penerima beasiswa Dharmasiswa tetapi kami merangkul semua mahasiswa internasional meskipun ini tidak semua. Karena ada beberapa mahasiswa internasional tidak bisa meletakkan karyanya. Di akhir program mulai tahun ini kami mencoba memamerkan karya mereka yang belajar di Fakultas Seni Rupa. Bagi yang belajar seni pertunjukan sebenarnya sudah perform, paling tidak ini pameran dan pertunjukan mereka di akhir program. Ini jadi semacam refleksi hasil belajar mereka di sini,” kata Heri.

Fananantsoa Jean Eddy, mahasiswa S2 Seni Rupa ISI Yogyakarta memamerkan 3 karya lukisan realis pada pameran bersama "Aduh Selesai" di kampus ISI Yogyakarta hingga Rabu (25/7). (Foto: VOA/Munarsih Sahana)

Pameran juga memajang karya mahasiswa internasional lainnya seperti Fananantsoa Jean Eddy dari Madagaskar yang memajang tiga lukisan realis, memotret tokoh dari 2 negara.

“Sejak kecil saya sudah berbakat melukis, saya sudah pernah ikut pameran-pameran dengan seniman-seniman di Madagaskar. Di sini, dulu saya penerima beasiswa Dharmasiswa tahun 2011 dan setelah itu pulang terus melamar kuliah S-1 san saya kuliah di Padang. Kemudian saya pindah ke Yogyakarta untuk mengambil S-2 dengan beasiswa Unggulan dari pemerintah Indonesia,” tukas Fananantsoa.

Sementara itu, Amin Tashaa asal Afghanistan membuat lukisan di atas lembaran puisi kuno tradisi Budha yang kini langka akibat konflik yang terjadi di Afghanistan.

Amin Tashaa asal Afghanistan, mahasiswa S1 Seni Rupa ISI Yogyakarta memajang lukisan dalam ukuran kecil di atas naskah puisi kuno yg kini langka akibat konflik di Afghanistan. (Foto: VOA/Munarsih Sahana)

Katia Sophia Ditzler, yang keturunan Jerman-Rusia, telah selama satu tahun belajar karawitan, pedalangan dan tari klasik di Yogyakarta. Pada pembukaan pameran Jumat malam, ia menampilkan tarian kontemporer berjudul Summer Behind Glass.

“Pertunjukan saya berjudul “Summer Behind Glass” (Musim Panas di Belakang Kaca), dan ini lebih seperti puisi yang saya tulis dan menampilkan kombinasi antara surealisme kondisi sekitar saya sekarang dan kontak tubuh, karenanya saya menampilkan gambar-gambar Lenin di layar juga gambar-gambar yang memperlihatkan dualisme antara Barat, terutama Amerika Serikat dan Rusia, juga gambar-gambar tentang eksekusi oleh ISIS," ujar Katia.

Your browser doesn’t support HTML5

Mahasiswa Internasional Gelar Karya Seni di Yogyakarta

Pameran itu terbuka untuk umum hingga Rabu (25/7). Seniman lain yang ikut pameran adalah Michael France (Republik Checko), Anna Cutter (Jerman), Eszter Magyar (Hongaria), Prem Kumar Gupta (India), Lannah Nguyen (Vietnam), dan Yumi Imamura (Jepang). [ms/ab]