Memperkenalkan Toleransi pada Anak Lewat Fabel

Seri Buku Toleransi Karya Sekar Sosronegoro (Dok: Sekar Sosronegoro)

Warga Indonesia di Los Angeles, Sekar Sosronegoro, menulis buku berseri anak-anak yang mengangkat isu toleransi dengan harapan hasil karyanya ini dapat menjadi bahan diskusi atau obrolan antara orang tua dan anak-anak.

Berawal dari keinginannya menulis buku sambil mengajarkan mengenai toleransi kepada anak-anak, warga Indonesia, Sekar Sosronegoro di Los Angeles, menulis buku berseri anak-anak pertama yang mengangkat tema toleransi, yang diterbitkan di Indonesia.

Hingga kini, sudah ada dua buku yang terbit yang mengajarkan mengenai perbedaan di antara sesama dan prasangka.

“Kalau kita bicara toleransi, kita harus menyadari dan mengakui dulu bahwa kita memang dilahirkan berbeda-beda. Itu yang pertama. Jadi yang pertama itu mengenal perbedaan, mengenal keragaman. Nah, di buku yang kedua, topiknya adalah prasangka. Karena prasangka juga salah satu penyebab dari perilaku intoleran,” papar Sekar Sosronegoro saat dihubungi oleh VOA baru-baru ini.

Tujuan utama Sekar mengangkat tema toleransi ke dalam buku-bukunya adalah untuk menciptakan bahan pembicaraan dan diskusi antara orang tua dan anak-anak.

“Saya sadar bahwa kunci dari pendidikan toleransi itu sebetulnya adanya di orang tua atau orang dewasa di sekitar anak tersebut. Jadi saya ingin sekali membuat buku yang bisa menjadi bahan obrolan antara orang tua dengan anak, karena toleransi bukan hanya perlu dicontohkan oleh orang dewasa tapi memang perlu dibahas,” ujar Sekar dengan semangat.

Sekar Sosronegoro, penulis seri buku toleransi (Dok: Sekar Sosronegoro)

Tema toleransi lalu ia tuangkan ke dalam buku berseri ini, melalui kehidupan binatang. Buku yang pertama diberi judul “Kitu, Kucing Kecil Bersuara Ganjil,” yang menampilkan karakter utama seekor kucing. Sedangkan buku yang kedua berjudul “Prasangka Moka,” dengan menampilkan seekor monyet sebagai karakter utamanya.

“Saya ingin buku ini terus menerus bisa relevan dengan anak-anak dan anak-anak biasanya merasa akrab dengan tokoh-tokoh binatang, jadi saya memutuskan membuat fabel. Tapi juga ada alasannya, kayak contohnya, buku yang pertama tokohnya adalah kucing, alasannya adalah kalau di Indonesia, kucing bisa dibilang binatang yang paling umum ya, dimana-mana ada kucing. Di jalanan ada kucing. Anak ikut ibu ke warung lihat kucing, jadi sangat familiar. Lalu yang kedua juga monyet, enggak ada kayaknya anak-anak yang enggak kenal monyet,” jelas perempuan yang bekerja di bidang teknologi dan bahasa ini.

Menulis buku yang ditujukan untuk anak-anak menurut Sekar cukup menantang. Tidak hanya ia harus menulis cerita tanpa berkesan seperti menasihati, tetapi ia juga harus berhati-hati ketika mengangkat isu toleransi, mengingat hal ini masih jarang dibicarakan secara terbuka di Indonesia. Lain halnya dengan budaya barat, yang menurutnya sudah sering mengangkat berbagai isu sensitif seperti rasisme dalam obrolan sehari-hari atau pun di media.

“Kalau di Indonesia SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) itu isu yang sensitive. Jadi itu sih gimana caranya meramu supaya buku ini tidak dianggap tendensius dan juga sangat ringan ceritanya, karena toleransi itu adalah sebuah konsep, bisa jadi hal yang abstrak gitu ya, cuma harus diturunkan sesederhana mungkin supaya anak-anak usia, buku ini tiga sampai delapan tahun ya, itu bisa mengerti, karena sebetulnya menyayangi sesama, menghormati seama itu bisa banget di simplifikasi,” ujar Sekar.

Tanggapan yang ia terima mengenai seri buku toleransi ini sangat positif, terutama dari para orang tua.

“Seri buku ini diperkenalkan ke publik itu tahun lalu, di pertengahan tahun. Itu beberapa bulan setelah keadaan di Jakarta lagi agak memanas karena Pilkada. Jadinya sepertinya ketika buku ini diluncurkan orang-orang itu sangat haus akan harapan dan angin segar, bahwa ‘Oh, iya memang perbedaan itu hal yang sebetulnya natural saja, enggak usah diperbesar-besarka,’” ujar Sekar.

Pada saat peluncuran bukunya di Jakarta, Sekar merasakan kelegaan dari para pengunjung yang diungkapkan kepadanya.

“Akhirnya ada juga buku anak-anak dengan tema toleransi, karena sebenarnya toleransi adalah tema yang sangat obvious, ya. Enggak hanya di Indonesia saja, di Amerika juga keadaan toleransi kan sedang diuji nih. Jadi sepertinya buku ini pas gitu keluar moment-nya,” tambahnya.

Saat ini seri buku toleransi diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Awalnya Sekar ragu mengingat latar belakang cerita dalam buku-bukunya ini mengambil suasana kehidupan sehari-hari di Indonesia.

“Tapi saya juga lalu mendapat masukan dari teman-teman di (Amerika), karena kami pernah mengadakan acara dan menjual buku-buku itu di Los angeles, dengan crowd orang Indonesia. Saya dapat banyak masukan bahwa sebetulnya, setting-nya apa saja enggak menjadi masalah, karena pesannya tetap relevan kan dimana saja. Jadi kami berencana menerjemahkan ke bahasa Inggris, tapi mungkin setelah selesai at least produksi buku ke-3,” jelasnya.

Selain tengah menyelesaikan buku yang ketiga, Sekar juga berencana untuk menulis buku yang mengangkat tema sosial yang menurutnya juga penting.

“Karena kan isu yang ada bukan hanya toleransi saja ya. Tapi pada dasarnya saya masih ingin dekat dengan kelompok anak-anak, karena menurut saya, generasi penerus ini perlu diinspirasi oleh hal-hal yang baik,” paparnya.

Sekar berharap melalui hasil karyanya ini, para orang tua tidak perlu lagi canggung ketika harus membahas isu-isu yang dianggap sulit untuk dibahas dengan anak-anak.

Tidak hanya di rumah, tetapi Sekar dan tim juga berharap buku-bukunya dapat berguna di sekolah-sekolah dan komunitas anak untuk bisa menciptakan obrolan yang bermakna. [di]