PT. Lapindo Brantas menjamin pengeboran migas yang akan dilakukan di tiga sumur miliknya di kawasan Tanggulangin, Sidoarjo, tidak akan menimbulkan semburan lumpur panas seperti yang terjadi di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong.
Presiden Direktur PT. Lapindo Brantas, Tri Setya Sutisna menegaskan, pihaknya akan terus melakukan pendekatan dan memberi pemahaman kepada warga, agar tidak menolak kegiatan pengeboran yang akan dilakukan di desa mereka. Selama ini warga menolak aktivitas pengeboran, karena trauma terhadap semburan lumpur yang terjadi sejak 29 Mei 2006.
“Ya seyakin-yakinnya, selama ini sumur yang lain aman kok, kan kita ngebor juga 11 sumur ya, itu sudah apa lagi yang diyakinkan, safety nomor satu makanya semua ijin keluar kan. Persoalannya sebenarnya mungkin belum mengerti saja, ya sudah lah kita pahami belum mengerti, ya kita kasih ngerti aja,” kata Tri Setya Sutisna.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo secara tegas menyetujui rencana pengeboran baru sumur Lapindo Brantas di wilayah Kecamatan Tanggulangin, dengan memberikan ijin lokasi pengeboran. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, keberadaan sumur gas milik Lapindo Brantas di Sidoarjo, merupakan potensi besar sumber daya alam yang dapat mendatangkan pemasukan bagi pendatapan daerah. Pemerintah daerah akan melakukan pendekatan kepada warga yang menolak rencana pengeboran, karena banyak warga yang belum memahami bagaimana pengeboran yang aman itu dilakukan.
“Ini nanti kita kasi penjelasan lah warga itu, kalem-kalem (pelan-pelan). Warga kita itu memang trauma, tapi kalau traumanya itu dikasi kesadaran tidak ada yang mencampuri dari orang luar, tidak ada yang jadi provokator, supaya gagal, ya semestinya sadar. Tapi ini kayaknya itu ada yang muatan politik atau saingan bisnis kita tidak tahu,” kata Saiful Ilah, Bupati Sidoarjo.
Pengamat politik dari Center for Public Policy and Globalization Studies, Mochamad Fauzie Said mengungkapkan, penentuan kebijakan negara terkait pengeboran migas harus didasari pada upaya untuk melindungi masyarakat secara luas.
“Kita berpijak kepada bagaimana kebijakan negara itu, yang pas itu bagaimana. Dan regulasi selama ini dengan implementasinya bagaimana, jadi kalau di dalam bahasa kebijakan publik itu apakah sudah tepat formulasi kebijakannya atau ada masalah dengan implementasi kebijakannya. Kalau ada masalah dengan formulasinya, maka harus ada terminasi, ada reformulasi kembali. Saya pikir apa pun kebijakan itu harus melindungi masyarakat, melindungi dalam arti yang seluas-luasnya baik keamanannya, baik kesejahteraannya,” jelas Mochamad Fauzie Said.
Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy menekankan, pengidentifikasian persoalan secara sosiologis harus dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang dirasakan masyarakat, tidak sekedar menekankan pada faktor ekonomi semata.
“Struktur masalah sosialnya harus dirumuskan dulu, pengidentifikasiannya, apakah misalnya keinginan masyarakat untuk punya rasa memiliki atas sumur-sumur yang ada di Sidoarjo, misalnya begitu. Bagaimana perwujudan rasa memilikinya itu misalnya, kita perbaikinya seperti itu,” kata Ichsanuddin Noorsy.
Rencana pengeboran baru sumur migas milik Lapindo Brantas, menimbulkan penolakan oleh warga sekitar yang merasa khawatir bencana semburan lumpur akan terulang. Gubernur Jawa Timur Soekarwo, beberapa waktu lalu telah mengeluarkan surat yang meminta seluruh aktivitas pengeboran dihentikan, hingga situasi aman dapat dijamin melalui kajian tim geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
“Masyarakat menjadi tidak nyaman dan terganggu keamanan dan ketertibannya, saya minta untuk dihentikan itu. Nunggu kemudian ngecek, aman tidaknya lewat (tim geologi) ITS itu,” kata Gubernur Jatim, Soekarwo.
Rere Christanto dari Divisi Advokasi dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, mengingatkan kembali pemerintah agar lebih peka terhadap trauma warga atas semburan lumpur Lapindo, yang selama 9 tahun ini menghancurkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di tiga Kecamatan di Sidoarjo.
“Kalau pemerintah kemudian mengijinkan pengeboran baru Lapindo maka tidak ada sensitifitas terhadap situasi yang berkembang di masyarakat terutama persoalan trauma Lumpur Lapindo,” jelas Rere. [pr/uh]