Menipisnya Persediaan Obat, Warga Venezuela dengan Organ Transplantasi Hidup dalam Kekhawatiran

Pasien penyakit ginjal dan keluarganya menunggu di ruang tunggu pusat pencucian darah di Caracas, Venezuela, 6 Februari 2018 (foto: REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)

Yasmira Castano dulu merasa mendapatkan kesempatan hidup lagi saat ia menerima transplantasi ginjal hampir dua dekade yang lalu. Gadis muda Venezuela ini berhasil menyelesaikan pendidikan SMA nya dan bekerja sebagai perawat kuku.

Namun akhir tahun lalu, Castano, sekarang berusia 40 tahun, tidak dapat menemukan obat yang ia butuhkan untuk mencegah tubuhnya menolak organ transplantasi, karna sistem perawatan kesehatan Venuzuela jatuh ke dalam krisis setelah bertahun-tahun dilanda krisis ekonomi.

Pada Malam Natal, dengan tubuh yang lemah dan rentan, Castano dilarikan ke rumah sakit negeri yang hancyr di ibukota Venezuela yang padat, Caracas. Sistem kekebalan tubuhnya telah menyerang organ asing dan ia kehilangan ginjalnya tidak lama kemudian.

Sekarang, Castano harus menjalani cuci darah tiga kali seminggu untuk menyaring darahnya. Namun rumah sakit yang terhubung ke Venezuela Central University, yang dulunya salah satu lembaga ternama di Amerika Selatan seringkali mengalami kelangkaan air dan bahan-bahan untuk cuci darah.

Yasmira Castano, 40 tahun, yang kehilangan ginjal transplantasinya berbaring di ranjang di rumah sakit negeri di Caracas, Venezuela, 7 Februari 2018.

“Saya tidak bisa tidur, dan merasa khawatir,” ujar Castano, dengan berat badan 35 kg, sambil berbaring di sebuah tempat tidur usang di ruang rumah sakit yang temaram, dengan dinding polos tanpa ada televisi atau gambar.

Teman satu ruangannya, Lismar Castellanos, yang baru saja berulangtahun yang ke-21, mengekspresikan perasaannya dengan tanpa tedeng aling-aling.

“Sayangnya, saya bisa saja mengalami kematian,” ujar Castellanos, yang kehilangan ginjal transplantasinya tahun lalu dan berjuang untuk menjalani cuci darah yang dibutuhkannya agar tubuhnya tetap dapat berfungsi.

Wanita-wanita ini adalah di antara kurang lebih 3.500 warga Venezuela yang mendapatkan transplantasi. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan normal, mereka sekarang hidup dalam kekhawatiran dengan runtuhnya ekonomi Venezuela di bawah Presiden Nicolas Maduro yang membuat negara anggota OPEC yang dulunya makmur tidak mampu untuk membeli obat dari luar negeri dalam jumlah memadai atau memproduksi obat sendiri dalam jumlah yang memadai.

Sekitar 31 warga Venezuela telah merasakan tubuhnya mulai menolak organ transplantasi pada bulan yang lalu oleh karena kurangnya obat, menurut kelompok koordinator kesehatan Codevida, sebuah lembaga swadaya masyarakat.

Setidaknya tujuh orang telah meninggal akibat komplikasi yang timbul akibat kegagalan organ dalam tiga bulan terakhir.

16.000 orang Venezuela, banyak yang berharap untuk mendapatkan transplantasi yang sulit didapatkan, tergantung pada cuci darah untuk membersihkan darahnya – namun di sini, sumberdaya dan bahan-bahan juga sangat minim.

Hampir setengah dari pusat cuci darah di negeri itu tidak berfungsi, menurut anggota parlemen oposisi dan onkologis Jose Manual Olivares, penyambung suara di tengah krisis kesehatan yang telah mengunjungi pusat-pusat cuci darah untuk mengkaji skala permasalahan.

'Langsung ke kuburan’

Dalam kurun waktu tiga minggu terakhir saja, tujuh orang sudah meninggal karena ketiadaan fasilitas cuci darah, menurut Codevida, yang berunjuk rasa untuk memprotes kelangkaan obat-obatan.

Penyakit yang dulunya terkendali semacam difteri dan campak sudah kembali, sebagian karena jumlah vaksin dan antibiotik yang tidak memadai, sementara warga Venezuela yang menderita penyakit kronis seperti kanker atau diabetes acapkali harus melupakan perawatan.

Ratusan ribu warga Venezuela yang putus asa, sementara itu, telah meninggalkan negara itu sepanjang tahun lalu, termasuk banyak profesional di bidang kedokteran.

Di tengah langkanya kebutuhan dasar seperti kateter dan rapuhnya infrastruktur rumah sakit, dokter-dokter yang masih tinggal berjuang untuk menanggulangi suberdaya yang semakin langka.

“Benar-benar membuat stress. Kami minta pasokan: pasokan tidak datang. Kami telepon lagi dan tetap mereka tidak datang. Kemudian kami sadar karena memang pasokan sudah tidak ada,” ujar seorang spesialis ginjal di rumah sakit umum, yang tidak bersedia disebutkan namanya karena pekerja kesehatan tidak diizinkan untuk berbicara secara publik terkait situasi yang dihadapi.

Lembaga Jaminan Sosial Venezuela, yang diberi tugas untuk menyediakan obat bagi kondisi-kondisi kronis, tidak bersedia berkomentar.

Pasien transplantasi yang ketakutan berhutang untuk membeli obat dengan harga mahal di pasar gelap, memohon kepada keluarga di luar negeri untuk menyalurkan obat-obatan ke negara itu atau menantang bahaya dengan mengurangi dosis obatnya agar persediaan obat dapat bertahan lebih lama.

Larry Zambrano, seorang ayah dua anak berusia 45 tahun dengan transplantasi ginjal, memilih obat imunosupresif yang diperuntukkan untuk hewan tahun lalu.

Guillermo Habanero dan saudaranya Emerson keduanya menjalankan transplantasi ginjal setelah menderita penyakit ginjal polikistik.

Emerson, mantan petugas kepolisian berusia 53 tahun, meninggal bulan November lalu setelah sebulan tidak mendapatkan obat imunosupresif.

“Apabila anda kehilangan ganjal, anda pergi ke fasilitas cuci darah namun di sana tidak tersedia bahan-bahannya. Jadi anda langsung pergi ke kuburan,” ujar Habanero, 56 tahun, yang memiliki toko kecil yang melayani servis komputer di tepi bukit di kawasan miskin Catia. [ww]